Suara.com - Pembahasan mengenai durasi cuti untuk Ibu hamil dan melahirkan ramai diperbincangkan setelah Ketua DPR Puan Maharani mengusulkan penambahan durasi cuti hamil dan melahirkan menjadi enam bulan yang semula berdurasi tiga bulan. Lalu, apakah ini artinya sebuah angin segar bagi ibu bekerja?
Ternyata tidak juga, lho. Sebuah survei yang dilakukan Cabaca bersama Jakpat terhadap 444 responden, yang terdiri dari 86,86% perempuan dan 13,14% laki-laki, menunjukkan bahwa 80,63% setuju dengan ide cuti untuk Ibu hamil dan melahirkan menjadi enam bulan, dan selebihnya 19,37% tidak setuju dengan ide tersebut.
Survei yang mengambil 69 % responden yang sudah bekerja dan sebagian besar di antaranya sudah memiliki anak tersebut juga membeberkan alasan di balik setuju atau tidak setujunya para responden.
Bagi responden yang setuju, durasi cuti yang lebih lama dianggap dapat membuat ibu memiliki waktu untuk pemulihan yang lebih lama, membantu pemberian ASI secara eksklusif, lebih fokus untuk menjaga anak, dan membantu kondisi psikologis ibu sehingga dapat membuat bonding dengan anak lebih dekat.
Baca Juga: Penembak Mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe Bekas Anggota Pasukan Bela Diri Jepang
Sedangkan untuk responden yang tidak setuju, mereka berpendapat bahwa waktu cuti menjadi enam bulan dirasa terlalu lama, dan mereka khawatir perusahaan nantinya akan mengurangi hiring perempuan yang sudah menikah, hingga kekhawatiran akan adanya diskriminasi pada perempuan.
Lebih lanjut, sebesar 78,91% responden setuju jika laki-laki juga seharusnya mendapatkan cuti melahirkan. Sebagian besar berpendapat hal ini dilakukan karena peran seorang suami dalam proses persalinan sangat penting, di mana istri membutuhkan pendamping atau support di saat melahirkan dan pada masa pemulihannya.
Terlebih bagi ibu bekerja, di mana seorang ibu tak hanya berperan sebagai ibu yang membesarkan anaknya dan seorang istri yang perlu menjaga hubungannya dengan sang suami, tapi juga sebagai perempuan yang memiliki karier dan tanggung jawab pada perusahaan. Karenanya, support system sangat dibutuhkan, terutama dari suami dan juga keluarga.
Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang digambarkan dalam series Netflix “Workin’ Moms” yang menceritakan empat ibu bekerja yang sudah memiliki anak yang tergabung dalam sebuah komunitas.
Dalam series ini digambarkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh seorang ibu bekerja, mulai dari usaha untuk mendekatkan diri dengan anaknya, hingga menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan suaminya. Lalu,ia pun harus mengejar ketertinggalan situasi di perusahaan. Pada akhirnya, salah satu tokoh kehilangan ikatan dengan sang suami karena terlalu fokus dalam pekerjaan.
Baca Juga: 6 Tipe Orang yang Memilih untuk Hidup Jomblo, Jangan Diledek!
Selain series yang dimiliki Netflix, cerita dengan dilema seorang ibu bekerja juga tergambarkan dalam novel All the Things You've Sacrificed karya Aulia Musla yang tayang di aplikasi baca novel premium, Cabaca. All the Things You've Sacrificed menceritakan tentang Hanun, seorang doktor muda yang rela menunda karier saat anak semata wayangnya mengalami keterlambatan tumbuh kembang. Namun, saat dirinya sudah bulat untuk resign agar dapat optimal memantau tumbuh kembang putranya, badai rumah tangga yang lebih besar datang tanpa disangka.
Seperti yang dikatakan oleh Fatimah Azzahrah, Co-Founder Cabaca, “Kenapa persoalan ibu bekerja jadi dilematis karena perempuan di Indonesia masih dianggap sebagai satu-satunya sosok yang paling bertanggung jawab dalam membesarkan anak. Perempuan kayak diharuskan memilih apakah jadi ibu rumah tangga saja atau mempertahankan kariernya,” ungkapnya, mengutip keterangan tertulisnya.
Ia pun menambahkan bahwa sudah sewajarnya ada narasi yang menunjukkan bahwa mengasuh anak adalah tanggung jawab bersama baik suami maupun istri. Oleh karena itu, bukan sekadar menambah durasi cuti melahirkan saja, tetapi juga memperhitungkan kemungkinan laki-laki mendapat cuti saat istrinya melahirkan.
Diharapkan, narasi-narasi dalam film maupun novel yang menggambarkan dilema ibu bekerja ini bisa tersampaikan dengan baik sehingga makin banyak orang yang aware bahwa baik laki-laki dan perempuan punya porsi yang sama besar dalam mengasuh dan merawat anak, terutama pasca-melahirkan.