Namun gerakan merekrut orang Jawa mulai menguat pada tahun 1880-an karena perubahan iklim politik di India. Keuntungan lain adalah bahwa Belanda sendiri akan mengendalikan proses rekrutmen dan imigrasi dan tidak harus bersaing dengan negara-negara rekrutmen lainnya, seperti yang terjadi di India.
Tradisi budaya Jawa terbukti kuat, meski perubahan dan adaptasi di Suriname, misalnya dalam bahasa, tak terelakkan
Menteri Kolonial Belanda keberatan dengan emigrasi dari Jawa hingga akhir tahun 1887 dengan alasan bahwa penduduk Jawa tidak cenderung untuk bermigrasi ke Suriname yang jauh dan tidak dikenal.
Setelah lobi-lobi kuat dari perkebunan dan pejabat Suriname, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengizinkan percobaan pertama dengan seratus migran kontrak Jawa pada tahun 1890. Meskipun ada keraguan tentang kekuatan fisik para pekerja baru, migrasi orang Jawa ke Suriname sekarang diizinkan.
Secara total, hampir 33 ribu orang Jawa bermigrasi ke Suriname pada periode 1890-1939. Jawa Tengah dan daerah dekat Batavia (Jakarta), Surabaya dan Semarang merupakan daerah rekrutmen utama. Hanya 20 hingga 25 persen migran Jawa yang kembali ke negara asalnya sebelum Perang Dunia II. Sebagian besar imigran menetap secara permanen di Suriname.
Para migran ditugaskan ke perkebunan. Menurut kontrak, perkebunan harus menyediakan perumahan gratis bagi para pekerja kontraknya. Namun, kualitas perumahan seringkali di bawah standar. Pejabat Hindia Timur Belanda H. van Vleuten, yang mengunjungi Suriname pada tahun 1909 untuk menyelidiki kondisi hidup dan kerja orang Jawa, melaporkan bahwa kehidupan rumah tangga para imigran Jawa tampak baginya sebagai 'agak menyedihkan'.
Sebagian besar kamar 'memberi kesan kemiskinan yang parah dari penghuninya.' Kontrak kerja menetapkan upah pria dan wanita, namun sebagian besar pekerja kontrak menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan upah yang tercantum. Van Vleuten menyimpulkan bahwa 'upah rata-rata yang diperoleh buruh kontrak jauh di bawah upah minimum'. Dia berpendapat bahwa penghasilannya terlalu rendah untuk mencari nafkah di koloni semahal Suriname.
Selain masalah materi ini, orang Jawa juga harus menghadapi penyesuaian diri dengan kehidupan baru, pola makan, dan pola kerja di lingkungan yang seringkali tidak bersahabat. Tidak mengherankan, kerinduan melanda banyak migran. Keinginan untuk kembali ke Jawa merupakan bentuk pelarian. Pelarian ini dan teknik lainnya, seperti penyakit pura-pura, berfungsi sebagai bentuk protes tersembunyi terhadap sistem perjanjian.