Suara.com - Selain sebagai primadona pariwisata dalam negeri, Bali juga digadang-gadang menjadi pusat komunitas freelancer lokal dan internasional.
Hal tersebut dikatakan CEO dari Solos, Ricky Willianto. Ia mengatakan, Bali telah menjadi pusat bagi digital nomad atau orang yang bisa bekerja di mana saja.
Bali, lanjutnya, merupakan magnet bagi mereka yang ingin memiliki gaya hidup seimbang seperti berselancar dan yoga di pagi hari lalu membangun bisnis di siang hari.
Saat malam, tambahnya, Bali juga menawarkan kehidupan sosial yang luar biasa.
Baca Juga: Jelang Pembukaan Liga 1 2022/2023, Bali United Dihantam Problem Cedera Pemain
"Bali adalah tempat berskala internasional yang menarik minat orang dari berbagai negara. Kami pikir Bali memungkinkan untuk membangun komunitas global, namun juga masih mempertahankan identitas sebagai bangsa Indonesia," ucapnya dikutip dari siaran pers, Jumat (8/7/2022).
Solos sendiri merupakan platform e-commerce yang membantu solopreneur (solo-entrepreneur) yang diluncurkan dan berbasis di Bali.
"Saat ini Solos fokus pada pertumbuhan di Indonesia. Kami saat ini berbasis di Bali karena kami percaya Bali adalah pusat bisnis yang tepat untuk freelancer, solopreneur, dan digital nomads," jelasnya.
Bank Dunia mencatat bagaimana pertumbuhan pelaku freelancing mencapai 30 persen setiap tahun dengan dominasi usia 18-44 tahun.
Penelitian School of Business University of Brighton menyatakan bahwa 97 persen pekerja lepas merasa lebih bahagia daripada pekerja kantoran.
Baca Juga: Serah Terima ke Mitra Strategis, Erick Thohir Jadikan Bandara Kualanamu Pusat Perdagangan-Pariwisata
Tren yang sama ternyata terjadi di Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat, 33,34 juta orang bekerja sebagai freelancer dan small business owners hingga Agustus 2020. Angka tersebut naik 4,32 juta orang atau 26 persen dari tahun sebelumnya.
"Dalam 11 tahun lebih perjalanan karir dan bisnis saya, yang di mana 5 tahun saya menjadi seorang freelancer, saya belajar bahwa menjadi seorang freelancer adalah cara baru untuk semakin berdaya secara ekonomi serta langkah awal melatih diri menjadi seorang entrepreneur ke depannya," tambahnya.
Ia juga menyebut bagaimana pasokan tenaga kerja yang menginginkan pekerjaan jam 9-5 semakin berkurang, terutama untuk kategori pekerjaan yang banyak diminati seperti teknik, desain, UI/UX, penelitian, pembinaan (training), dan strategi.
Selain faktor fleksibilitas waktu dan tempat bekerja, ada kecenderungan sosial yang mendasari, terutama di kalangan generasi muda, untuk mendapat pekerjaan yang memiliki makna bagi hidup mereka.
Hal ini, lanjutnya, dapat berupa melakukan pekerjaan yang berdampak positif bagi dunia, atau bahkan hanya pekerjaan yang selaras dengan nilai-nilai pribadi seseorang seperti kreativitas atau kebebasan.
"Kami percaya bahwa terjadi transisi besar pada angkatan kerja masa kini. Generasi baru lebih menyukai kebebasan, fleksibilitas, dan pekerjaan yang berdampak dan didorong oleh hasrat."