Suara.com - Hari ini, 21 Juni 2022, merupakan peringatan wafatnya sang Proklamator Kemerdekaan sekaligus Presiden RI pertama, Soekarno. Lelaki yang memiliki nama lahir Koesno Sosrodihardjo itu meninggal pada 21 Juni 1970 di usianya yang ke-69 tahun.
Sayangnya, kepergian Soekarno yang populer dengan sebutan Bung Karno itu dilepas dengan kondisi politik yang tengah memanas. Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, Pasca-peristiwa G30S/PKI membuat kesehatannya memburuk.
Saat itu, dilansir dari Wikipedia, Soeharto berusaha untuk mengambil alih kekuasaan setahap demi setahap. Hal itu tersirat saat tiga perwira tinggi Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud, dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat meminta Soekarno untuk menandatangani Surat Perintah 11 Maret-- atau yang kerap dikenal sebagai Super Semar.
Surat ini memberikan kekuasaan kepada Mayjen Soeharto untuk “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminya keamanan”.
Baca Juga: Memahami Pemikiran Proklamator Bangsa untuk Memperkokoh Nasionalisme dan Pemulihan Ekonomi
Usai Super Semar ditandangani, keesokan harinya Soeharto langsung membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mendapat dukungan dari MPRS. Sejak saat itu, PKI diangggap sebagai partai terlarang.
Soekarno kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS. Pidato tersebut berjudul "Nawaksara" dan dibacakan pada 22 Juni 1966.
MPRS kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut. "Pelengkap Nawaksara" pun disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967, namun kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari di tahun yang sama.
Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan ditandatanganinya surat tersebut, maka Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia.
Setelah melakukan Sidang Istimewa, maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi, dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.
Baca Juga: HNW: Untung Proklamator Indonesia Bung Karno, Bukan Sukmawati
Kesehatannya Semakin Menurun
Setelah diberhentikan sebagai presiden dalam Sidang Istimewa MPRS pada Mei 1967, Soekarno kian terisolasi dan tak punya kuasa. Terlebih, lelaki kelahiran 6 Juni 1901 ini akhirnya dipindah dari Istana Batu Tulis ke Wisma Yasoo, kediaman pribadinya di Jakarta Selatan.
Selama tinggal di Wisma Yasoo, Sang Proklamator diasingkan dari rakyat dan keluarganya. Karena pengasingan itu, kesehatannya menurun drastis: menjadi linglung dan suka bicara sendiri.
Sebelumnya, Bung Karno telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria, tahun 1961 dan 1964.
Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri diangkat, tetapi Bung Karno menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.
Ia bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, dengan status sebagai tahanan politik.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno.
Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970. Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan makam ibunya.
Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara. Suasana di hari tersebut begitu penuh haru, jenazah Soekarno pun diantar oleh ribuan orang yang memenuhi pemakamannya.
Melepas kepergian orang yang berjasa bagi kemerdekaan bangsa, Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.