Suara.com - Menyusuri jalan ke daerah Wulagi di luar kota Darwin, Australia, bau asing yang menyegat mulai tercium.
"Baunya memang seperti bau amis ikan busuk," ujar Mark Motlop, yang sedang memasak bumbu pedas terasi di rumahnya siang itu.
"Tapi saat kita mulai memasak, menambahkan semua bahan dan bumbu, kita akan mendapatkan bau manis dan baunya pun menjadi biasa," katanya kepada ABC News.
Dipadukan dengan campuran cabe segar, jahe, bawang putih, bawang merah, dan terasi udang, sambal terasi atau lazim juga disebut dengan belacan, kini menjadi hidangan populer di wilayah utara Australia.
Baca Juga: Hasilnya Bisa Lebih Awet! Chef Devina Hermawan Bagikan Resep Sambal Terasi Spesial Ini
Bagaimana rasa terasi disukai atau dibenci, biasanya tergantung pada bagaimana hubungan keluarga tersebut dengan bahan makanan khas Asia tenggara ini.
"Jika kami mengadakan barbekyu, pasti selalu ada sambal terasi di atas meja," kata Mark.
"Jika Anda ke acara pesta pernikahan di Darwin, akan ada terasi di sana karena seseorang akan selalu membawanya," tambahnya.
"Jika belum pernah mencoba sambal terasi, berarti Anda belum pernah ke Darwin. Terasi ada di mana-mana di sini. Orang-orang selalu mencarinya," katanya.
Rempah dan 'bau busuk itu'
Mark Motlop tumbuh dewasa menyaksikan ayahnya Edward, yang pindah ke Darwin dari Kepulauan Selat Torres pada 1950-an, membuat sambal pedas dari bahan terasi.
Baca Juga: Cara Membuat Sambal Terasi Sedap Pedas, Berikut Resep Mudahnya
Ayahnya membuat hidangan ini dari bahan-bahan asli, katanya, menggunakan terasi udang segar yang diperoleh dari toko kelontong China jauh sebelum bentuk kemasannya dikenal di kota ini.
Namun, Mark ingat saat itu dia tidak bisa lama-lama berada di dapur karena "bau busuk" yang akan menyeruak ke seluruh rumah.
"Bahkan para tetangga selalu menanyakan bau apa itu. Mereka selalu keheranan dan mungkin berpikir apa yang terjadi di rumah kami," katanya.
Perjalanan resep terasi
Saat berusia 18 tahun, Mark meninggalkan Darwin untuk bermain footy, sepakbola khas Australia, dengan bergabung ke South Australian Football League.
Saat itu belum ada terasi yang bisa ditemukan di toko-toko di Adelaide, jadi dia terpaksa mempelajari resepnya melalui telepon ke ayahnya di Darwin.
"Saya terus membuatnya dan mencoba membuatnya sebaik buatan ayahku," kata pria yang kini berusia 63 tahun.
Setelah bermain footy di liga seluruh Australia, Mark pulang kembali ke Darwin dan terus giat di Nightcliff Football Club.
Dia menghabiskan 30 tahun kehidupannya sebagai pelatih footy di Darwin. Ia bahkan sesumbar bahwa terasi adalah kunci kesuksesannya sebagai pelatih.
"Ketika saya melatih klub Buffs (Buffaloes), saya membayar pemain dengan dua toples terasi. Itu sudah cukup lezat untuk mereka," ujarnya, tersenyum.
Menelusuri sejarah terasi di Australia
Di Indonesia, sambal dari daging udang ini dikenal sebagai terasi. Di seluruh Asia Tenggara, hidangan lezat ini punya berbagai nama.
Mark tadinya mengira bahwa terasi adalah makanan asli penduduk Pulau Selat Torres, sampai dia menyadari bahwa keluarga pribumi dari pihak ibunya juga membuatnya.
Hal inilah yang membuat Mark berpikir tentang para pelaut Makassar, yang banyak mendatangi Australia utara untuk mencari dan berdagang teripang dengan orang Aborigin di pesisir pantai Arnhem Land pada awal abad ke-18.
"Orang-orang Makassar jelas menjadi bagian dari perdagangan itu. Mereka punya andil besar dengan datangnya terasi ke Australia," kata Mark Motlop.
"Sambil memasak, saya kerap memikirkan pelaut Makassar, perjalanan mereka, bagaimana terasi sampai ke Selat Torres, bagaimana hidangan ini sampai ke ujung utara Queensland, sampai ke Darwin, sampai ke Broome dan bahkan sampai ke Alice Springs sekarang," tuturnya.
Kecintaan pada sambal terasi
Salah satu restoran Indonesia di Kota Darwin, tersembunyi di belakang arcade di pusat kota, selalu menyiapkan hidangan sambal terasi.
Nurainiah Majid, pemilik dan pengelola restoran, memulai minggunya dengan membuat sambal terasi segar yang selalu dicari oleh pelanggan.
Dia menghabiskan tiga kilogram cabe segar, yang dibeli di pasar lokal, diblender dengan bawang, tomat, dan satu blok terasi kemasan.
Tidak seperti metode yang dilakukan Mark Motlop yang memasak semua bahan dalam satu panci, Nurainiah justru menumis bahannya dalam wajan sampai cabenya berubah warna dan rasanya pas.
"Saya nyalakan api dan memasak dengan sedikit minyak, garam dan gula. Itu saja. Tapi harus berhati-hati jangan sampai gosong," katanya.
Resep sambal terasi ini dipelajari wanita 46 tahun itu dari ibunya di Surabaya, Jawa Timur, dan membawanya ke Australia, saat berimigrasi bersama suaminya pada 1997.
Ketika dia membuka restorannya, The Sari Rasa, di Darwin 20 tahun yang lalu, Nurainiah mengatakan dia tidak percaya ketika warga lokal di sini justru mencari terasi.
Ibu lima anak ini mengatakan pelanggannya dari Arnhem Land selalu datang untuk menikmati sambal terasi.
"Saya kira orang Aborigin tidak tahu apa-apa tentang terasi. Tapi suamiku menjelaskan sejarah orang Makassar datang ke sini dan bergaul dengan orang Aborigin. Makanya mereka mengenal makanan Indonesia juga,” katanya.
Rahasia yang dijaga ketat
Nurainiah mengaku "tidak ada rahasia" untuk resep sambal terasinya. Dia bahkan dengan senang hati membagikannya kepada siapa saja.
Tapi Mark Motlop mengatakan di lingkungannya, para pembuat sambal terasi di Kota Darwin menjaga ketat rahasia bumbu-bumbu yang mereka gunakan.
"Para pembuat sambal terasi ini cukup protektif. Bahkan ada sedikit persaingan," ujarnya.
"Kami tidak pernah mengatakan kepada orang lain, terasimu kalah dari terasinya, karena hal itu akan menjatuhkan dia," tambahnya.
Mark sendiri cukup terbuka tentang bumbu-bumbunya, kecuali satu, yang ia tambahkan ke masakan di bagian paling akhir.
"Koki yang baik tidak pernah memberikan resep lengkapnya," ujarnya berdalih.
Lantas siapa yang dapat mengklaim kepemilikan atas kenikmatan hidangan terasi di Australia?
Menurut Mark, Kota Darwin, Kota Cairns, dan Kota Broome tidak boleh mengklaim terasi sebagai hidangan khas mereka.
"Ini milik semua orang, mereka memiliki cara tersendiri untuk membuatnya," katanya.
"Semua orang dari berbagai lapisan masyarakat akan menyukainya. Apakah pribumi atau bukan, atau warga asal negara lain, Anda akan merasakan dan mencarinya lagi," kata Mark.
Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News.