Suara.com - Selama situasi pandemi, jumlah perempuan dan anak yang mengalami kekerasan ternyata terus meningkat. Tidak hanya kekerasan secara langsung, tapi juga kekerasan secara online.
Hal tersebut disampaikan dalam acara "Pandemi dan Ancaman Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak" - Refleksi Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Rifka Annisa pada Rabu (20/4/2022).
Perempuan dan anak disebut masih rentan menjadi korban kekerasan karena struktur budaya patriarki yang ada. Struktur budaya tersebut menimbulkan ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki. Karena laki-laki berada di posisi yang memiliki kekuasaan, ada kemungkinan kekuasaan tersebut disalahgunakan.
Menurut Manajer Program Pendampingan Rifka Annisa, Indiah Wahyu Andari, data 10 tahun terakhir menunjukkan tingkat kekerasan pada istri mengalami peningkatan.
Sementara, pengaduan kasus kekerasan ke Rifka Annisa Women Crisis Center (Rifka Annisa WCC) terus mengalami peningkatan hingga 3 kali lipat selama pandemi.
"Pengakses layanan online di tahun 2021 tetap tinggi, meski sedang situasi krisis pandemi," ungkap Indiah Wahyu Andari.
Pada 2021, ada 947 orang yang mengakses layanan pendampingan kasus. Namun, hanya 204 orang yang melanjutkan layanan di Rifka Annisa sedangkan sisanya dirujuk ke lembaga layanan lain.

Dari semua kasus yang ada, kategori Kekerasan Terhadap Istri (KTI) masih menjadi laporan tertinggi. Selanjutnya, kasus kedua tertinggi adalah kekerasan seksual, kekerasan dalam pacaran, dan pemerkosaan.
Terdapat pola pelaku yang memiliki rentang usia lebih tinggi dari korban. Tidak hanya itu, sebagian besar korban dan pelaku memiliki latar belakang pendidikan menengah ke atas.
Baca Juga: 11 Potret Chaca Sitohang, Istri Choky Sitohang yang Selalu Bagi Potret Bahagia
Ada pun pelaku kejadian adalah orang-orang yang paling dekat dengan korban, sementara kekerasan oleh orang asing hanya 2 persen.