Suara.com - Sejak 2018, aktor Dwi Sasono memiliki ketertarikan dalam bidang seni rupa kontemporer, khususnya seni rupa patung.
Ini jugalah yang membuat suami aktris Widi Mulia itu, ikut terlibat dalam pameran Art Jakarta Gardens 2022 di Hutan Kota by Plataran, GBK dan menampilkan koleksi 3 patung buddha karyanya, dengan judul Suwung, yang berarti kosong.
Kosong yang Dwi Sasono curahkan dalam tiga patungnya, ini menyiratkan pesan yang mendalam. Ini karena saat setiap orang sudah mencapai kesadaran diri ia akan merasa kosong.
"Dari kosong, menjadi ada, dari ada menjadi kosong, saat kita capai titik kesadaran tertinggi, pasti akan merasa kosong. Makanya saya namakan suwung berarti kosong," ujar Dwi saat berbincang dengan awak media disamping instalasi luar ruangan karya patungnya, Kamis (8/4/2022).
Dwi lantas bercerita, bagaimana ia sempat bingung karena sebelumnya berkiprah di dunia seni peran yang terus bergerak, tapi lalu menekuni seni yang diam.
Tapi uniknya, ternyata karya yang diam inilah membuatnya berhasil menciptakan banyak makna dan kekuatan yang mendalam yang berhasil ia curahkan.
Ada Ikatan Jiwa dan Jodoh dengan Patung
Lelaki yang kini sudah memiliki 15 patung hasil buah tangannya dalam koleksi Lebur ini menegaskan bahwa patung yang ia pamerkan, bukanlah patung yang tersedia di candi.
Melainkan ia yang suka melakukan perjalanan atau traveling, secara tidak sengaja bertemu dengan berbagai patung yang menarik hatinya, yang rerata ditemukan di lokasi para pengrajin patung.
Baca Juga: Dwi Sasono Ditangkap Kasus Narkoba, Anak Takut Masuk Sekolah
Menariknya, setiap patung yang ia temukan ini bukanlah patung yang bentuknya sudah sempurna, tapi melainkan patung yang sudah terbengkalai, seperti bagian lengan hilang, kepala hilang, hingga bagian badan tertentu yang hilang.
"Jadi saya waktu melihat ini, ini patung terbengkalai, saya menemukan patung ini di pengrajin patung, karena mereka kalau patung patah yaudah, karena mereka masih membuat patung dari konsep mereka," cerita Dwi.
Ia melanjutkan, tidak semua patung yang ditemukan terbengkalai ia boyong dan dijadikan sebuah karya, melainkan ada keterikatan jiwa antara dirinya dan patung tersebut.
"Jadi kayak jodoh gitu saling terkait, begitu kali ya," tuturnya seraya berkelakar.
Dilengkapi dan Dilebur bersama Perunggu
Dwi dan timnya punya cara unik memperbaiki patung-patung ini jadi karya baru, yaitu mengganti patahan patung dengan perunggu alias logam.
Sehingga terjadilah perpaduan meleburkan batu dan logam menjadi sebuah karya, dengan ikatan dua elemen.
Arti dari gabungan dua elemen ini menyiratkan pesan bahwa, sebagai manusia perlu meleburkan tubuh, pikiran, rasa, jiwa dan spiritualitas.
"Ide ini pertama kali muncul, saya punya patung di rumah tapi patah, leher nggak ada, pinggulnya patah, saya sering bengong liatin itu, patahannya kemana ya. Apa gue bikin aja dari elemen lain," cerita Dwi.
Lalu jadilah, ia bersama timnya melakukan peleburan, membuat cetakan perunggu khusus dan menyatukannya. Selanjutnya, Dwi ambil peran untuk melakukan finishing.
"Untuk satu patung butuh 3 hingga 4 bulan pembuatannya, karena kita perlu buat cetakan, dan cetakan setiap patung dan bagiannya beda-beda, jadi nggak ada satupun yang sama," jelasnya.
Tiga Patung Buddha Punya Masing-Masing Makna Khusus
Ketiga patung buddha ini mencerminkan 3 tingkatan tertinggi sikap tangan archa budha, yakni Dhyana Mudra, Abhaya Mudra, hingga yang tertinggi Bumisparsa Mudra.
Tingkatan ketiga, sikap dhyana mudra yang berarti meditasi, dengan sikap kedua tangan terbuka dan diletakan di pangkuan, dimana tangan kanan berada diatas tangan kiri, dan kedua ibu jari saling menyentuh satu sama lain.
Tingkatan kedua, yaitu abhaya mudra ini dengan sikap tangan Buddha dimana tangan kanan diletakkan di atas paha kanan, dengan telapak tangan menghadap ke atas, sebuah posisi yang melambangkan upaya penghalauan terhadap rasa takut atau kegentaran.
Tingkatan pertama dan tertinggi, yaitu bumisparsa mudra ini dengan sikap tangan kanan menyentuh bumi, diletakkan di atas lutut kanan, dengan jari-jari menunjuk ke bawah, yang melambangkan permintaan Buddha kepada Dewa Bumi untuk menyaksikan perilakunya yang benar.