Suara.com - Sejumlah harga barang diperkirakan akan kembali naik seiring dengan ketetapan pemerintah yang berlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen, dari semula 10 persen. Ketentuan PPN 11 persen tersebut akan mulai diberlakukan pada 1 April 2022.
Ketua umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan bahwa kenaikan harga PPN itu akan mempengaruhi biaya produksi barang. Sehingga kenaikan tersebut akan dibebani kepada konsumen dengan menaikan harga jual.
"Ini mengkhawatirkan karena pasti membuat biaya produksi naik. Tentunya biaya PPN tidak akan diserap produsen. Pasti dibebani ke harga jual barang. Ini menambah lagi potensi kenaikan biaya," kaya Alphonzus saat konferensi pers di Mal Kota Casablanca, Jakarta, Kamis (10/3/2022).
Menurutnya, rencana kenaikan PPN itu tidak tepat, terutama menjelang Ramadan dan Idulfitri. Terlebih saat ini, kondisi perekonomian di Indonesia baru mulai pulih selama pandemi Covid-19.
Baca Juga: Ramadan 2022, Baznas Targetkan Salurkan Dana ZIS ke 265 Ribu Mustahik
Alphonsuz mengatakan, dampak kenaikan PPN yang berujung terhadap kenaikan harga barang otomatis mempengaruhi daya beli masyarakat. Sehingga pada akhirnya menghambat pemulihan ekonomi.
Padahal menurutnya, perdagangan dalam negeri menjadi tumpuan utama dalam pemulihan ekonomi.
"Semua negara berlomba beri kemudahan dalam sektor perdagangan supaya bisa cepat pulih. Tapi Indonesia bertolak belakang. Kalau kenaikan PPN tetap diberlakukan, akan ada tiga hal masalah timbul," ujarnya.
Ia menyampaikan, masalah pertama yakni, akan melebarkan ketidakadilan regulasi antara belanja offline dan online. Alphonzus mengungkapkan bahwa selama ini sistem belanja offline terlalu banyak dibebani berbagai macam aturan dan pajak. Sementara, online lebih diberikan kemudahan.
Ia menyarankan, daripada menaikan PPN seharusnya pemerintah lebih dulu buat aturan pajak yang adil untuk penjualan online.
"Masalah kedua, kalau PPN naik, harga barang ikut naik. Untuk kalangan atas akan mudah pergi ke luar negeri untuk belanja yang lebih murah," ujarnya.
"Ketiga, khusus kelas menengah ke bawah, apabila harga produk naik, sehingga barang lebih sulit terjangkau, pembelian menurun, di mana daya penjualan saja masih belum pulih," tambahnya.
Alphonsuz menyampaikan bahwa APPBI meminta agar sebaiknya kenaikan PPN menjadi 11 persen tersebut ditunda selama 2-3 tahun ke depan. Saat itu, diharapkan status pandemi Covid-19 telah berubah menjadi endemik. Selain itu, perekonomian juga lebih pulih.
"Timingnya menurut saya tidak pas (menaikan PPN) saat akan masuk Ramadan," ujarnya.