Ini Tantangan yang Kerap Dialami Perempuan Untuk Bisa Jadi Pimpinan Perusahaan

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Selasa, 08 Maret 2022 | 17:07 WIB
Ini Tantangan yang Kerap Dialami Perempuan Untuk Bisa Jadi Pimpinan Perusahaan
Ilustrasi perempuan karier. (Pexels/Edmond Dantès)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Saat ini telah banyak perubahan kondisi yang bisa mendukung perempuan untuk bisa mencapai pimpinan di suatu perusahaan dan organisasi. Tapi, masalah stereotip juga masih kerap menjadi tantangan bagi perempuan dalam menapaki jalan kariernya. 

Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita menyatakan, selain stereootipe, budaya paternalistik juga masih jadi pengganjal perempuan untuk jadi pucuk pimpinan.

Perempuan dianggap kurang bisa dalam mengaktualisasi diri, sehingga jadi penghambat untuk memperoleh promosi. Selain itu,  perempuan dianggap cenderung lebih sulit membangun jaringan dan relasi. Perempuan juga sering dianggap lebih baik berdiam diri di rumah sebagai ibu rumah tangga ketimbang bekerja.

Stereotip yang paling parah menurut Maya, kedudukan perempuan dipandang lebih rendah ketimbang kedudukan laki-laki. Anggapan-anggapan seperti itu masih saja dirasakan atau berlaku di lingkungan perusahaan, sadar maupun tidak sadar.

Ilustrasi wanita karier. (pexels.com/AndreaPiacquadio)
Ilustrasi wanita karier. (pexels.com/AndreaPiacquadio)

Posisi-posisi kepemimpinan atau nilai-nilai kepemimpinan di suatu perusahaan kerap kali dikaitkan dengan maskulinitas dan laki-laki. Perempuan dianggap tidak punya tempat karena tak memiliki nilai-nilai yang selama ini dimiliki oleh laki-laki.

"Itu sumber masalahnya kalau kita bicara tentang apa yang terjadi dengan fenomena ketimpangan gender atau glass ceiling," kata Maya dalam keterangannya, Selasa, (8/3/2021). 

Tantangan lainnya yang juga kerap diahapi perempuan, lanjut Maya, mereka kerap diminta memilih antara tanggung jawab antara keluarga dan perusahaan. Apalagi di saat pandemi Covid-19, hal itu semakin berat. Karena selain urus rumah tangga, perempuan juga harus mengurus anak yang bersekolah dari rumah.

Perempuan selalu dihadapkan pada pilihan yang sulit, bagaikan buah simalakama. Kalau perempuan maju atau sukses, rumah tangganya dianggap berantakan. Sebaliknya, kalau perempuan tidak mencoba untuk maju, maka akan merasa tidak bisa mengaktualisasikan dirinya.

"Banyak faktor terkait dengan fenomena glass ceiling, tapi faktor lingkungan sangat berpengaruh kenapa perempuan tidak bisa mencapai puncak pimpinan tertinggi," kata dia.

Pada dasarnya, kodrat perempuan hanya menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Selebihnya, pekerjaan-pekerjaan perempuan bisa berbagi dengan dengan laki-laki.

Dia mengaku, sulit mengubah stereotip yang terlanjur sudah mendarah daging. Namun, dia menegaskan, bukan berarti stereotip tersebut tidak bisa dihilangkan. Salah satu strategi menebus fenomena glass ceiling di perusahaan yakni dengan menghubungkan dalam kepentingan ekonomi.

"Kalau kita bicara isu perempuan, masih di bawa ke dalam isu sosial, belum dibawa ke dalam isu ekonomi. Kalau kita bawa itu ke isu ekonomi, akan lebih relevan. Misalnya bagaimana perusahaan berinvestasi pada perempuan dan punya pemimpin perempuan yang berpotensi meningkatkan kinerja bisnis," tegasnya.

Baca Juga: BRIN Dorong Peningkatan Partisipasi Perempuan dalam Sains

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI