Suara.com - Setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, bukan berarti Indonesia merdeka seutuhnya. Faktanya, kita masih mengalami beberapa tragedi nasional yang mengancam keutuhan NKRI.
Tiga di antara tragedi nasionak tersebut di antaranya adalah Peristiwa Madiun 1948, Pemberontakan DI/TII, dan pemberontakan 30 September 1965 atau dikenal dengan G30S PKI.
Ketiga peristiwa ini menggemparkan Indonesia dan nyaris memecah belah Indonesia. Berikut ini ulasannya, mengutip Sumber Belajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Sabtu (15/1/2022).
1. Peristiwa Madiun 1948
Baca Juga: 4 Cara Memperluas Pengetahuan Sejarah, Salah Satunya Melalui Medsos
PKI Madiun ialah sebuah gerakan yang berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah yakni Republik Indonesia dan mengganti landasan negara.
Gerakan ini dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Muso, serta dimulai pada pertengahan tahun 1948 dan berpusat di Madiun, Jawa Timur.
Penyebab pecahnya peristiwa Madiun 1948 tidak lepas dari jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin akibat ditandatanganinya perjanjian Renville yang sangat merugikan Republik Indonesia.
Setelah tidak lagi menjadi Perdana Menteri, Amir membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang kemudian bekerjasama dengan organisasi berpaham kiri seperti Partai Komunis Indonesia, Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dll.
Faktor lain adalah kedekatan Amir Sjarifuddin dengan tokoh PKI Musodan bercita-cita menyebarkan ajaran komunisme di Indonesia. Dam ditambah dengan propaganda kekecewaan terhadap Perdana Menteri selanjutnya, yakni Kabinet Hatta, akibat programnya untuk mengembalikan 100.000 tentara menjadi rakyat biasa dengan alasan penghematan biaya.
Baca Juga: Anies: Hari Kesaktian Pancasila Bukan Hanya untuk Dikenang, Tapi Juga...
Pemberontakan PKI Madiun diawali dengan melancarkan propaganda anti pemerintah dan pemogokan kerja oleh kaum buruh. Selain itu pemberontakan juga dilakukan dengan menculik dan membunuh beberapa tokoh negara.
Seperti penembakan terhadap Kolonel Sutarto pada 2 Juli 1948, penculikan dan pembunuhan terhadap Gubernur Jawa Timur pertama RM. Ario Soerjo yang kebetulan berkunjung ke Ngawi dan kemudian dicegat oleh kelompok Amir pada 10 September 1948.
Kemudian ada juga penculikan dan pembunuhan Dr. Moewardi pada 13 September 1948, yang merupakan tokoh penting dalam peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Puncak pemberontakan tersebut terjadi pada 18 September 1948, saat pemberontak berhasil menguasai kota Madiun dan mengumumkan lahirnya Republik Soviet Indonesia.
Mereka pun menguasai tempat strategis, melakukan sabotase, perusakan pembakaran sarana dan prasarana, serta melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang anti PKI.
Pemerintah menyadari apa yang dilakukan PKI sangat membahayakan negara. Oleh karena itu, dilakukan beberapa cara untuk mengakhiri pemberontakan.
Pertama, Soekarno memperlihatkan pengaruhnya dengan meminta rakyat memilih Soekarno-Hatta atau Muso-Amir.
Kedua, Panglima Besar Sudirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan dibantu para santri.
Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki lagi oleh RI. Beberapa petinggi PKI melarikan diri ke Tionghoa dan Vietnam seperti D.N Aidit dan Lukman. Muso tertembak dalam pertempuran kecil di Ponorogo. Amir Sjarifuddin ditangkap dan ditembak mati.
2. Pemberontakan DI/TII
Gerakan Darul Islam (DI) merupakan gerakan politik yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Gerakan ini mempunyai pasukan yang disebut Tentara Islam Indonesia (TII), sehingga pemberontakan ini juga dikenal dengan DI/TII.
Pemberontakan DI/TII merupakan salah satu pemberontakan tersulit yang pernah dihadapi Indonesia. Sebab, pemberontakan ini menyebar di berbagai wilayah Indonesia dari Jawa, Sumatera, Sulawesi maupun Kalimantan.
- Pemberontakan DI/TII Jawa Barat
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat merupakan pelopor gerakan DI/TII. Bahkan pemimpinnya, SM. Kartosuwiryo, didaulat sebagai imam atau pemimpin tertinggi dari Negara Islam Indonesia, serta diakui oleh wilayah-wilayah pemberontakan lain.
- Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Dilatarbelakangi keinginan untuk bergabung dengan NII bentukan Kartusuwiryo, pemberontakan di Jawa Tengah ini berlangsung pada 23 Agustus 1949 hingga Juni 1954. Pemberontakan hadir dalam bentuk mengikrarkan berdirinya DI/TII Jawa Tengah pada 23 Agustus 1949 di Desa Pengarasan, Tegal.
- Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan
Pemberontakan ini dipicu oleh kekecewaan Kahar Muzakar karena pasukannya yang tergabung dalam Komando Griliya tidak dimasukan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia (APRIS).
Pemberontakan berlangsung antara tahun 1950 hingga Februari 1965. Setelah ditolak dari APRIS. Kahar Muzakar berserta anak buahnya melarikan diri ke hutan, dan ia menyatakan bahwa pasukannya menjadi bagian dari NII Kartosuwiryo.
- Pemberontakan DI/TII Aceh
Pemberontakan ini dipicu oleh kekecewaan masyarakat Aceh karena diturunkannya status Aceh menjadi Keresidenan di bawah Sumatra Utara. Pemberontakan berlangsung antara 1951 hingga 1962.
- Pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan
Pemberontakan ini disebabkan keinginan untuk bergabung dengan NII bentukan Kartosuwiryo, dan berlangsung antara tahun 1950 hingga 1959.
3. Pemberontakan 30 September 1965
Peristiwa ini memang hanya berlangsung dua hari satu malam. Tapi dampaknya cukup besar bagi kehidupan perpolitikan bangsa Indonesia ketika itu. Mengenai siapa dalang dari peristiwa ini, banyak versi yang beredar.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 ialah tragedi nasional yang diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia dan menimbulkan korban di kalangan petinggi militer.
Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh persaingan politik, karena PKI sebagai kekuatan politik merasa khawatir dengan kondisi kesehatan Presiden Soekarno yang memburuk.
Berbagai kebijakan yang diusulkan PKI diterima dan diterapkan, seperti mempersenjatakan Angkatan V (Buruh Tani) untuk menghadapi konfrontasi dengan Malaysia, serta pembubaran Masyumi karena dianggap bertanggung jawab atas peristiwa PRRI/Persemesta.
Pada awal Agustus 1965, ketika Presiden Soekarno tiba-tiba pingsan setelah berpidato, banyak pihak yang beranggapan bahwa usia beliau tidak akan lama lagi. Sehingga muncul pertanyaan besar, yakni siapa pengganti Presiden Soekarno nantinya? Pertanyaan tersebut yang menyebabkan persaingan semakin tajam antara PKI dengan TNI.
Awal Mula Pemberontakan 30 September 1965
Peristiwa gerakan 30 September 1965, pada dasarnya berlangsung selama dua hari. Pada tanggal 30 September dilakukan kegiatan koordinasi dan persiapan, serta tanggal 1 Oktober 1965 dini hari dilakukan kegiatan pelaksanaan penculikkan dan pembunuhan.
Terjadinya pemberontakan secara kronologi dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Gerakan 30 September 1965 berada dibawah kendali Letkol. Untung dari Komando Batalyon I resimen Cakrabirawa
- Letkol Untung menunjuk Lettu Dul Arief menjadi ketua pelaksanaan penculikan.
- Pasukan bergerak mulai pukul 03.00, enam Jendral menjadi korban penculikkan dan pembunuhan yakni Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. R. Soeprapto, Mayjen. Harjono, Mayjen. S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan dan Brigjen Sutoyo dan satu perwira yakni Lettu Pierre Tandean. Keseluruhannya dimasukkan kedalam lubang di kawasan Pondok Gede, Jakarta.
- Satu Jendral selamat dalam penculikkan ini, yakni Jenderal A.H. Nasution, namun putrinya menjadi korban, yakni Ade Irma Suryani, serta ajudannya Lettu. Pierre Tandean.
- Korban lain ialah, Brigadir Polisi K.S. Tubun wafat ketika mengawal rumah Dr. J. Leimana.
- Gerakan ini menyebar juga di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, Kolonel Katamso dan Letkol. Sugiono menjadi korban karena tidak mendukung gerakan ini.
- Setelah berhasil menculik dan membunuh petinggi AD, PKI menguasai gedung Radio Republik Indonesia, dan mengumumkan sebuah dekrit yang diberi nama Dekrit no.1, yakni pernyataan bahwa gerakan G30S adalah upaya penyelematan negara dari Dewan Jendral yang ingin mengambil alih negara.
Penumpasan Pemberontakan G30S PKI
Gerakan 30 September 1965 menyebabkan kebingungan terhadap masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Mereka mempertanyakan kemana para petinggi Angkatan Darat tersebut? Pertanyaan lainnya ialah siapa yang mengaku dirinya Dewan Revolusi yang menyiarkan berita tentang Dekrit no.1?
Kebingungan yang dirasa masyarakat Indonesia langsung direspon oleh pemerintah. Mayjen Soeharto sebagai Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), setelah menerima laporan serta membuat perkiraan, mengambil kesimpulan bahwa para perwira tinggi itu telah diculik dan dibunuh.
Berdasarkan kesimpulan tadi, Mayjen Soeharto langsung mengambil alih pimpinan Angkatan Darat guna menindaklanjuti peristiwa yang terjadi di tanggal 30 September tersebut.
Langkah penumpasan dimulai pada tanggal 1 Oktober 1965, TNI berusaha menetralisasi pasukan-pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka.
Selanjutnya, Mayjen Soeharto menugaskan kepada Kolonel Sarwo Edhi Wibowo untuk merebut kembali gedung RRI dan Pusat Telekomunikasi, dan tugas tersebut selesai dalam waktu singkat dan tanpa pertumpahan darah.
Dengan dikuasainya RRI dan Telekomunikasi, pada pukul 20.00 WIB, Soeharto mengumumkan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan oleh gerakan 30 September. Beliau juga mengumumkan bahwa Presiden Soekarno dan Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution dalam keadaan selamat.
Operasi penumpasan berlanjut ke kawasan Halim Perdanakusuma pada 2 Oktober 1965, tempat pasukan G30S mengundurkan diri dari kawasan Monas Kawasan.
Pada tanggal yang sama, atas petunjuk Polisi Sukitman yang berhasil lolos dari penculikan PKI, pasukan pemerintah menemukan lokasi Jenazah para perwira di lubang sumur tua, yang di atasnya ditanami pohon pisang di kawasan yang dekat juga dengan Halim yakni Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Pada tanggal 4 Oktober dilakukan pengangkatan Jenazah tersebut, dan keesokan harinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Para perwira yang gugur akibat pemberontakan ini diberi penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.
Upaya penumpasan terus dilakukan, rakyat Indonesia turut membantu dan mendukung penumpasan tersebut. Demonstrasi anti-PKI berlangsung di Jakarta.
Operasi penumpasan berlanjut dengan menangkap orang-orang yang dianggap bertanggung jawab pada peristiwa itu. Pada 9 Oktober 1965, Kolonel A. Latief berhasil ditangkap di Jakarta.
Pada 11 Oktober 1965, Letkol Untung pemimpin dewan revolusi berhasil ditangkap di Tegal ketika ingin melarikan diri ke Jawa Tengah.
Selain itu para petinggi PKI seperti D.N Aidit, Sudisman, Sjam, dll juga ditangkap oleh TNI pada 22 November 1965. Selanjutnya pada 14 Februari 1966, beberapa tokoh PKI dibawa ke hadapan sidang Mahkamah Luar Biasa (Mahmilub).
Desakan rakyat semakin ramai menuntut agar PKI dibubarkan, puncaknya pada saat Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966, Soeharto langsung mengeluarkan larangan terhadap PKI dan ormas-ormas di bawahnya.