Suara.com - Belakangan ini, istilah hustle culture cukup ramai digunakan dalam lingkup pekerjaan. Apa itu hustle culture sebenarnya? Apakah hustle culture adalah hal yang wajar?
Seorang pekerja yang menganut budaya hustle culture umumnya menghabiskan waktu mereka untuk bekerja sampai-sampai melupakan waktu untuk istirahat. Tentu saja budaya ini tidak sepatutnya dipelihara. Dalam jangka waktu yang panjang, itu dapat membahayakan kesehatan.
Supaya tidak terjebak dengan budaya ini, mari kenali budaya hustle culture lebih dekat dan mencari tahu bagaimana cara mengatasinya.
Baca Juga: Jika belum Punya 6 Hal Ini, Jangan Buru-buru Resign dari Pekerjaan!
Dilansir dari laman The Finery Report, hustle culture didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang memiliki jam kerja tidak terbatas. Mereka yang melakukan hustle culture sering dianggap sebagai workaholic karena bekerja tanpa mengenal waktu.
Dengan menganut budaya hustle culture, seseorang akan berpikir bahwa demi mencapai kesuksesan hidup, waktu yang ada harus didedikasikan sepenuhnya untuk selalu bekerja keras.
Hustle culture disebut dapat menciptakan kondisi lingkungan kantor yang tidak sehat. Para pekerja akan berkompetisi untuk mendapat pengakuan atau posisi tertentu dengan motivasi yang salah seperti overworking.
Sayangnya bukannya mencapai impian, hustle culture justru berbahaya untuk kesehatan baik fisik maupun mental.
Dampak buruk hustle culture
Baca Juga: Jangan Simpan Dendam, Berikut 4 Cara Bersikap saat Dimarahi Atasan
Pada sebuah penelitian dalam Current Cardiology Reports di tahun 2018 lalu, ditemukan bahwa mereka yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu akan memiliki risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular seperti serangan jantung lebih tinggi.
Tekanan darah dan detak jantung yang meningkat karena bekerja secara berlebihan ini juga dapat memicu aritmia, resistensi insulin, hiperkoagulasi, hingga iskemia bagi mereka yang memiliki aterisklerotik tinggi.
Pada jangka waktu yang lebih panjang, hustle culture adalah salah satu hal yang berpotensi menyebabkan stroke karena fibrilasi atrium, kondisi di mana detak jantung tidak stabil dan memicu darah terkumpul di atrium kiri.
Parahnya lagi, hustle culture tidak hanya memberi dampak negatif bagi kesehatan fisik, namun juga mental, seperti cemas, depresi, hingga keinginan untuk bunuh diri.
Cara menghadapi hustle culture
Jangan membandingkan diri dengan orang lain
Saat melihat media sosial, terkadang kita tidak sengaja membandingkan diri dengan orang lain yang mungkin terlihat lebih mapan dengan pekerjaannya. Melihatnya sebagai motivasi tentu boleh, namun jangan sampai hal ini memicumu untuk bekerja terlalu keras. Ingatlah bahwa setiap orang memiliki jatahnya masing-masing.
Tahu batas
Satu-satunya orang yang mengetahui kemampuan beban kerja adalah diri sendiri. Oleh karena itu, penting untuk mengukur kapasitas dan memberanikan diri menolak pekerjaan di luar hal tersebut.
Intinya, berkerja terlalu keras hingga menerapkan hustle culture adalah sesuatu yang sebaiknya dihindari. Bukankah segala sesuatu yang berlebihan pada dasarnya memang tidak baik?
Kontributor : Hillary Sekar Pawestri