Suara.com - United Nations Development Program (UNDP) mengatakan masyarakat adat punya risiko 3 kali lebih besar terjerumus ke dalam kemiskinan akibat pandemi Covid-19.
Itulah mengapa saat pandemi, masyarakat adat perlu diperhatikan secara khusus. Apalagi data menunjukan tidak kurang dari 70 juta penduduk Indonesia merupakan bagian dari komunitas adat.
Mereka memiliki kontribusi nilai ekonomi yang signifikan, dengan angka yang mencapai Rp 159,93 miliar per tahun.
Itulah mengapa perlu dibuatnya peta jalan memulihkan ekonomi masyarakat adat setelah pandemi, karena sampai saat ini belum ada pemetaan yang menyeluruh.
Baca Juga: Dokter Ungkap 3 Masalah Kesehatan Kulit yang Banyak Terjadi Selama Pandemi, Apa Saja?
Mirisnya, Ketua Tim Penyusunan Peta Jalan dan Strategi Aksi bagi Kelompok-Kelompok Terdampak, Poppy Ismalina, menemukan jika sekilas masyarakat adat terlihat tidak membutuhkan bantuan pihak lain, tapi kenyataannya mereka sangat membutuhkan.
"Kemudian kami identifikasi tentu saja perlu ada dukungan yang utuh untuk kehidupan yang jauh lebih baik bagi semua kelompok rentan, termasuk masyarakat adat,” ungkap Poppy dalam acara diskusi bersama Bina Swadaya, Jumat (17/12/2021).
Poppy menerangkan bahwa nantinya, peta jalan pemulihan ekonomi masyarakat adat akan meliputi lima prinsip yang meliputi kesetaraan dan partisipasi.
"Yang penting adalah bagaimana peta jalan dan strategi akses ini membuka akses informasi dan membangun kepercayaan publik terhadap apa yang kita akan lakukan untuk pemulihan pasca pandemi," papar Poppy.
Studi untuk memahami kerentanan dan resiliensi masyarakat adat melibatkan setidaknya empat kelompok masyarakat adat, yakni Senama Nenek, Urug, Ciptagelar, dan Samin (Sedulur Sikep).
Baca Juga: Selama Pandemi Covid-19, Penanganan Bedah Saraf di RS Ini Meningkat
Sementara itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berhasil mengidentifikasi ada 83.000 desa adat, 36.000 desa di antaranya memiliki lembaga adat yang bisa dilibatkan untuk memulihkan ekonomi masyarakat adat.