Kekerasan Seksual Pada Anak di Ponpes, Menutup Pesantren Bukan Satu-Satunya Solusi

Selasa, 14 Desember 2021 | 13:38 WIB
Kekerasan Seksual Pada Anak di Ponpes, Menutup Pesantren Bukan Satu-Satunya Solusi
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak. (Pixabay)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi di lembaga pendidikan berasrama berbasis agama menjadi perhatian banyak kalangam saat ini.

Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan dan Lingkungan, Rohika Kurniadi Sari menuturkan Kemen PPPA mendukung upaya pemberian hukuman dengan efek jera bagi pelaku kekerasan, melalui publikasi identitas pelaku di media massa.

Hal ini merupakan wujud upaya Kemen PPPA dalam mendorong perubahan ketiga atas Undang-Undang Perlindungan Anak.

"Keterlibatan seluruh pihak juga sangat penting, seperti forum anak yang berperan penting dalam menyadarkan sesama anak di sekitarnya, hingga pendekatan wilayah melalui hadirnya Kota/Kabupaten Layak Anak dan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak yang sangat penting dalam mencegah kekerasan pada anak di daerah baik provinsi, kabupaten/ kota, hingga desa,” tutur Rohika dalam sebuah webinar Selasa (13/12/2021).

Sementara itu, Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan, Abdul Ghaffar Rozin atau Gus Rozin, menuturkan banyaknya kasus kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan keasramaan, menjadi persoalan masa depan bangsa.

Menurut Gus Rozin, kekerasan terjadi karena proses pengasuhan dan pendidikan tidak diimbangi dengan pemahaman pengasuh pondok pesantren terkait isu ramah anak.

Baca Juga: Saya Trauma Diperkosa Kakak Kandung Sejak Kecil, Mau Lapor Polisi Tidak Punya Bukti

Menindaklanjuti hal ini, pihaknya telah membuat wadah komunikasi bagi lebih dari 24 ribu pesantren di seluruh Indonesia. Dari proses tersebut, diketahui adanya kesenjangan pemahaman di antara para pendidik dan pengasuh di pesantren.

Beberapa sudah sangat paham terkait pengasuhan disiplin positif dan ramah anak, serta penanganan kekerasan, namun banyak pendidik yang belum paham.

Gus Rozin juga menyampaikan langkah menutup pesantren bukan satu-satunya solusi, melainkan lebih tepat jika mengganti pengasuh dan pendidiknya, serta adanya sistem blacklist secara nasional sebagai tanda khusus bagi predator seksual, agar mereka tidak dapat kembali beraktivitas secara sosial kegamaan dan mengulangi kejahatannya.

“Saya sepakat jika pendidik ataupun pengasuh di lembaga pendidikan anak harus memiliki kualifikasi khusus dan pemahaman tentang disiplin positif, pengasuhan ramah anak, serta kesadaran untuk menangani kekerasan seksual dan bullying," ujar dia

Isu pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan keasramaan merupakan isu bersama mengingat banyaknya jumlah lembaga pendidikan keasramaan khususnya pesantren di Indonesia.

Ia berharap upaya ini bukan hanya respon sesaat, tapi juga respon jangka panjang yang melibatkan semua pihak dengan pendekatan komprehensif.

Sementara itu, Deputi Program, Dampak dan Kebijakan Yayasan Sayangi Tunas Cilik (Save the Children), Tata Sudrajat, mengungkapkan lembaga pendidikan berasrama memiliki tanggung jawab dan peran pengasuhan kepada anak-anak di lembaganya. Mereka menjadi orangtua pengganti sementara sepanjang anak ditempatkan di Lembaga tersebut.

“Kekerasan pada anak dengan segala bentuknya di lembaga pendidikan tidak bisa ditolerir. Tidak ada lembaga yang steril dari kekerasan terhadap anak, sehingga indikator zero kasus lembaga pendidikan harus diganti dengan setiap kasus ditangani secara profesional dan proporsional, bukan ditutupi atau dijustifikasi," ungkap dia.

Baca Juga: Pilu Gadis Malang Dicabuli Ayah Tiri, Diancam Menceraikan Sang Ibu

Anak korban kekerasan harus mendapatkan layanan perawatan dan dukungan psikososial yang layak, jika mereka tidak direhab dengan baik maka akan menjadi pemangsa bagi anak lain.

Tata juga menegaskan informasi kekerasan bukan untuk konsumsi publik, karena korban harus dilindungi, dijaga kerahasiaan dan privasinya. Tetapi, tidak berarti pelaku dibiarkan bebas. Pelaku harus dihukum setimpal.

"Kekerasan pada anak jangan diatasi dengan cara perdamaian karena pelaku menjadi bebas dan memangsa anak-anak lain. Ini yang menyebabkan kekerasan pada anak terus terjadi,” tegas Tata.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI