Suara.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) meminta pelaku pemerkosaan belasan santriwati di pesantren di Cibiru, Bandung, harus mendapatkan hukuman maksimal.
Pelaku yang juga seorang guru pesantren di Ciburi tersebut melakukan pemerkosaan terhadap belasan santriwati selama lima tahun, sejak 2016-2021. Bahkan, empat korban di antaranya telah melahirkan delapan anak.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, mengatakan, pelaku dapat diancam tambahan hukuman kebiri sesuai dengan Pasal 81 ayat 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016.
“Kami mendukung proses peradilan yang sedang berlangsung serta mendorong penerapan hukuman yang tegas dan maksimum terhadap terdakwa yang telah melakukan perbuatan sangat keji terhadap anak yang ingin mendapatkan pendidikan terbaiknya,” kata Nahar, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (10/12/2021).
Baca Juga: Kasus Guru Agama Perkosa 12 Santriwati, Arie Untung: Hati-Hati Pilih Pesantren
Dalam sidang peradilan yang sedang berlangsung, terdakwa disangkakan melanggar Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Jo Pasal 76D UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaku terancam hukuman lebih dari 5 tahun.
Nahar mengatakan, kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berasrama sebenarnya sering berulang. Oleh sebab itu, harus ada langkah pencegahan yang serius dari semua pihak, baik dari pengelola lembaga pendidikan maupun pengawasan orangtua dan pihak-pihak lainnya.
Kemen PPPA mendorong agar setiap lembaga pendidikan dan pengasuhan, termasuk pesantren, harus memiliki dan menerapkan standar pengasuhan bagi anak yang berada di bawah tanggung jawabnya.
“Kami juga mengharapkan orangtua turut mengawasi anaknya yang ditempatkan di lembaga pengasuhan atau pendidikan dan membangun komunikasi yang intens dengan anak sebagai bagian dari tanggung jawab pengasuhan yang tidak boleh dilepaskan begitu saja kepada lembaga tersebut,” pinta Nahar.
Ia menambahkan, lembaga pengasuhan atau pesantren wajib memberikan orientasi kepada peserta didik untuk melindungi dirinya dari segala bentuk tindak kekerasan dan memiliki akses untuk melaporkan segala bentuk perlakuan yang diterima.
Baca Juga: Kasus Guru Pesantren Perkosa Belasan Santriwati, KPAI Geram: Beri Hukuman Berat dan Kebiri
Para korban kini telah mendapat pendampingan dari Lembaga Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak yang dikoordinasikan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Barat.
Nahar menyampaikan, perhatian khusus terus diberikan untuk pendampingan psikososial agar anak korban pulih dan dapat kembali ke masyarakat.
Nahar meminta semua pihak termasuk media berhati-hati dalam menyampaikan informasi serta tidak memberi stigma kepada korban. Bagaimanapun juga, para korban berhak mendapatkan perlindungan identitas diri atau privasi demi menghindari dampak buruk di kemudian hari.