Suara.com - Internet telah menjadi media utama pembelajaran anak, terutama di masa pandemi ini. Namun, para orangtua dan pendidik masih menghadapi kekhawatiran berupa penggunaan internet berlebihan pada anak. Hal ini, selain menyebabkan gangguan belajar, juga berdampak terhadap menurunnya kesejahteraan digital anak dan berpotensi menimbulkan risiko perundungan (cyberbullying), adiksi, dan kesehatan mental.
Menurut penelitian UNICEF pada tahun 2019, sekitar 90% anak dan remaja Indonesia menghabiskan waktu 5 jam sehari pada hari biasa untuk mengakses media sosial, game online, dan menonton tayangan streaming.
Melihat realitas tersebut, upaya memberikan edukasi lingkungan digital yang aman perlu digencarkan guna melindungi dan memastikan kesejahteraan anak, terutama dalam sekolah dan proses pembelajaran.
Penggunaan internet, jika berlebihan, dapat berdampak pada kesehatan mental dan memicu peluang terjadinya perundungan online hingga mengganggu kesehatan fisik,” ungkap Agita Pasaribu, Founder dan Direktur Eksekutif Bullyid Indonesia, dalam webinar edukasi untuk anak dan tenaga pengajar bertema “Mewujudkan Kesejahteraan Digital di Lingkungan Sekolah” yang diselenggarakan oleh Migo bersama Bully.id.
Baca Juga: Anak Alami Gangguan Belajar Bukan Berarti Bodoh, Begini Penjelasan Medisnya
"Menurut survei kami, kebanyakan dari remaja Indonesia sering kali merasa minder dan tidak percaya diri dengan wajah dan fisik mereka ketika melihat public figure / influencers yang mereka ikuti di media sosial," kata Agita lebih lanjut.
Rasa cemas yang muncul, jika dibiarkan, dapat berdampak kepada kemampuan anak dalam bersosialisasi, gangguan makan, dan depresi. Itu sebabnya, penting sekali untuk anak memahami bagaimana cara agar mereka dapat menggunakan teknologi sebagai sarana belajar tanpa terdistraksi.
Menurut riset yang dilakukan oleh Universitas Illinois pada tahun 2020, ketika anak tidak fokus atau mengalami distraksi saat belajar, konsentrasi akan menurun.
Lebih dari itu, jika memindahkan program pembelajaran melalui media sosial, akan berpotensi membuat anak menunda waktu belajar. Maka dari itu, peran tenaga pengajar dan orangtua sangat dibutuhkan untuk menciptakan ruang belajar digital anak yang sehat dan bertanggung jawab.
Pada kesempatan webinar ini, Agita turut mengungkapkan beberapa langkah agar anak dapat menyeimbangkan aktivitas di dunia digital-nya saat belajar, seperti mengaktifkan batasan waktu ketika melihat aplikasi, mengunduh materi belajar secara offline, menyalakan mode fokus di ponsel untuk mematikan notifikasi aplikasi dalam beberapa jam.
Baca Juga: 5 Etika Menggunakan Internet yang Wajib Diajarkan Anak ke Orangtua
“Edukasi tentang kesejahteraan digital seperti ini dapat menjadi strategi preventif bagi para peserta didik dari risiko digital yang dapat menyebabkan turunnya kapasitas belajar anak. Selain itu, melihat adanya tuntutan bagi para peserta didik untuk dapat melakukan pembelajaran mandiri di rumah melalui penggunaan teknologi. Maka dari itu, diperlukan adanya metode pembelajaran efektif yang kondusif dan tanpa distraksi, untuk mengembangkan kinerja belajar anak,” ungkap Ciput Eka Purwianti, S.Si. MA., Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.
Sebagai platform jaringan offline yang mendistribusikan berbagai konten digital, termasuk pendidikan, Migo menyuguhkan sebuah cara baru belajar digital tanpa distraksi iklan, yang dapat mengajak anak untuk lebih fokus belajar dan terhindar dari paparan iklan yang berdampak buruk.
Melalui Migo Belajar, anak dapat menikmati beragam konten inovatif yang menginspirasi, konten tentang kemajuan sains dan teknologi yang dapat mengasah keterampilan dan pengetahuan.
"Dengan teknologi disruptif offline yang dimiliki, Migo berharap konsentrasi dan semangat anak dapat terjaga, sekaligus dapat meningkatkan keinginan mereka untuk memperdalam minat dan wawasan,” tutup Dan Connor, Direktur Utama Migo Indonesia.