Suara.com - Di masa pandemi, sekitar 30 juta orang Indonesia berbelanja online untuk pertama kalinya. Situasi pandemi memaksa banyak pihak untuk beradaptasi dan berinovasi, baik dari sisi konsumen maupun pebisnis. Kondisi ini menjadi momentum bagi Natasha Ardiani dan dua partnernya untuk mendirikan startup Durianpay, sebuah aplikasi pembayaran digital.
Natasha melihat, situasi Covid-19 melumpuhkan banyak usaha dan meneybabkan keterbatasan mobilitas dikarenakan lockdown. Namun di saat yang sama, banyak usaha-usaha yang ingin go online sehingga hambatan-hambatan yang ada dapat dijadikan sebagai kesempatan ekspansi bisnis di segmen-segmen yang sebelumnya belum terjamah.
Bersama dengan dua rekan lainnya, yaitu Antara Sara Mathai dan Kumar Puspesh, Natasha mantap mendirikan Durianpay tahun 2020. Nama unik tersebut dipilih, karena menurut Natasha, ia dan kedua rekannya ingin memilih nama yang sesuai dengan area di mana usaha mereka beroperasi, tumbuh, dan berasal.
"Nama durian dirasa cocok karena merupakan jenis buah native Asia Tenggara dan namanya terdengar catchy sehingga mudah diingat," kata Natasha, dalam wawancara lewat email.
Masa Depan Fintech yang Menjanjikan
Mendirikan perusahaan startup di bidang fintech, tentu saja Natasha tak bermodal nol. Ia sendiri sudah 5 tahun berkecimpung di bidang fintech. Kariernya di fintech dimulai sejak ia bekerja di Sea Group, parent company Shopee. Ia membantu meluncurkan ShopeePay yang merupakan brand uang elektronik milik Shopee dan Sea Group. Setelah dari Sea, ia pindah ke OVO sebagai Head of Strategy dan kemudian sebagai SVP Lending.
Baca Juga: Profil Preity Zinta, Aktris Bollywood yang Baru Saja Dikaruniai Anak Kembar
"Ekonomi internet di Indonesia sudah sebesar $50 miliar di 2019 dan diperkirakan akan tumbuh menjadi $285 miliar di tahun 2025. Potensi yang ditawarkan dunia fintech sangat besar. Landscape-nya terus berubah dan berkembang pesat yang menjadikan field ini sangat menarik," katanya, yakin bahwa fintech menjanjikan masa depan yang cerah.
Menceritakan pengalamannya, di Shopee, Natasha banyak melakukan 0 to 1, mengerjakan project dari nol untuk menjadi sesuatu mulai dari produk uang elektronik, produk buy now paylater (BNPL), dan produk-produk layanan keuangan digital lain.
"Sedangkan di OVO, saya lebih lanjut belajar tentang vertikal-vertikal fintech yang lain seperti lending, asuransi, wealth dan lain-lain. Pada intinya saya suka sekali kultur startup yang fast-paced dan di mana orang-orangnya selalu berorientasi pada inovasi, pembaharuan dan problem solving," katanya.
Targetkan UMKM hingga Usaha Skala Besar
Durianpay melihat peluang yang signifikan untuk meluncurkan layanannya di Indonesia, dan memungkinkan setiap usaha, mulai dari skala kecil hingga besar, untuk mendapatkan keuntungan dari sistem pembayaran yang mudah dioperasikan, utuh, dan terintegrasi secara penuh.
Menargetkan para UMKM atau social sellers hingga perusahaan besar, menurut Natasha, produknya berinovasi agar dapat menjembatani kesenjangan teknologi di pasar. Melalui integrasi tunggal, Durianpay menawarkan akses ke berbagai pilihan pembayaran dan antarmuka tanpa kode di mana pebisnis dapat membuat alur kerja yang secara otomatis dan menerapkan infrastruktur pembayaran dengan instan dan mudah. Proses checkout dan pembayaran sepenuhnya dapat disesuaikan dan dimodifikasi oleh pemilik bisnis.
"Beberapa solusi yang disediakan oleh pemain B2B SaaS (software as a service) pembayaran lainnya memerlukan integrasi yang kompleks atau menyebabkan pemilik bisnis harus melakukan banyak intervensi manual untuk rekonsiliasi pembayaran. Mayoritas dari mereka juga membebankan harga tinggi untuk pengusaha kecil," jelas Natasha mengenai pembeda antara Durianpay dengan produk sejenis.
Saat ini, pengguna Durianpay sendiri lebih banyak digunakan oleh bisnis berupa badan usaha, dan ada beberapa pebisnis individu. Layanan yang digunakan kebanyakan adalah fitur penerimaan pembayaran, fitur disbursement, dan fitur promo.
Meski begitu, Natasha yakin bahwa masih banyak peluang di depan sana yang memungkinkan produknya terus berkembang.
Baca Juga: Punya Pasar Menjanjikan, Startup RI Diminta Jangan Hanya Jadi Penonton
Menurut data statistik Bank Indonesia, 87% transaksi ritel di Indonesia masih menggunakan uang tunai atau cash keras, dan sisanya menggunakan kartu debit/kredit dan uang elektronik. Namun, di saat bersamaan, semakin banyak pebisnis berinovasi dan berinvestasi untuk mendigitalisasi hal-hal operasional seperti pembayaran gaji bulanan, pembayaran tagihan, penghitungan dan pembayaran pajak pertambahan nilai, dan lain-lain.
"Dengan adanya layanan keuangan/pembayaran digital, banyak lini-lini bisnis yang dulunya sifatnya manual dan operasional dapat dioptimisasi untuk jadi lebih efisien," kata perempuan kelahiran tahun 1990 ini.
Tantangan Perempuan Memimpin Startup
Menjalankan startup bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Terlebih, Natasha memilih momentum pandemi, yang sangat tidak kondusif, untuk memulai usahanya. Namun, dirinya pribadi merasa yakin dengan apa yang dijalankannya saat ini.
"Saya telah diberkati dengan lingkaran dalam yang sangat mendukung, mentor, jaringan bisnis, akses pasar, dan faktor lainnya. Tetapi ini semua bukan sesuatu yang diberikan untuk saya, tetapi sesuatu yang saya perjuangkan dan usahakan. Dan untuk alasan inilah, saya ingin menggunakan setiap kesempatan untuk memberikan kembali dan membantu perempuan lain untuk menyadari potensi mereka di bidang apa pun yang mereka pilih," kata lulusan Master of Public Administration, Columbia University ini.
Natasha meyakini, pelaku startup harus agile sehingga bisa menyesuaikan respon dan reaksi terhadap perubahan. Selain itu, diperlukan juga sikap tidak pantang menyerah, karena dalam mengembangkan bisnis pasti banyak menemui penolakan, hambatan, dan tantangan.
Ia juga terus meningkatkan kemampuan untuk pandai membaca situasi pasar, karena menurutnya, seorang pelaku startup harus bisa pandai-pandai menentukan apakah produk yang diluncurkan akan tumbuh dan mendapatkan pangsa pasar dan kemudian bisa dimonetisasi.
Meski tantangan selalu ada, Natasha yakin bahwa itu semua adalah bagian dari siklus hidup yang lumrah dihadapi oleh semua orang.
"Saat merasa low energy level, yang saya lakukan cukup beristirahat dan berusaha menjauhkan diri dari kesibukan untuk dapat menjernihkan pikiran dan berstrategi lebih lanjut," kata perempuan yang punya hobi membaca, hiking, dan mendengarkan musik ini.