Suara.com - Permasalahan lingkungan hidup menjadi salah satu topik yang banyak diperbincangkan di kalangan generasi muda Indonesia dan dunia saat ini. Banyak anak muda menilai permasalahan lingkungan yang terjadi berpotensi menjadi masalah besar untuk kehidupan generasi mendatang.
Mereka tak ingin mewarisi kondisi lingkungan yang tidak mampu mendukung kehidupan yang lebih sehat dan bermutu.
Ketika berpikir tentang cara mengatasi permasalahan lingkungan, yang umumnya menimbulkan efek samping buruk berkepanjangan, kita juga harus mampu melihat pelbagai peluang dan jawaban terbaik dengan dampak positif yang berkesinambungan. Nah, di sinilah peran ilmu Bioteknologi diperlukan.
Secara umum, bioteknologi adalah pemanfaatan makhluk hidup (biasanya mikroorganisme dan tumbuhan) atau produk yang mereka hasilkan untuk memberikan keuntungan bagi manusia.
Baca Juga: Kejari Tangkap 3 ASN Tersangka Korupsi Alat Berat dan Setoran Tera
Salah satu contoh sederhana produk bioteknologi yang lekat dengan keseharian kita adalah tempe, tape, atau makanan dan minuman terfermentasi lainnya.
Di dalam tempe, misalnya, terdapat jamur, seperti Rhizopus oligosporus, yang tumbuh di permukaan kacang kedelai dan mengubah struktur, aroma, dan rasa kacang tersebut menjadi tempe.
Hal serupa dapat dilakukan untuk menghasilkan produk bioteknologi lain yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan. Pada Maret 2016, misalnya, ilmuwan dari Jepang mempublikasikan penemuan bakteri Ideonella sakaiensis yang didapatkan dari lokasi pengolahan sampah plastik di Osaka.
Bakteri ini telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang banyak ditemukan materi plastik.
I. sakaiensis mampu mengurai polyethylene terephthalate (PET), salah satu unit kimia yang digunakan dalam memproduksi botol plastik. Bayangkan, jika kita dapat memanfaatkan kemampuan bakteri ini untuk menguraikan sampah plastik yang semakin menjadi permasalahan besar saat ini.
Baca Juga: Tertunda karena Pandemi, Mobil dan Motor Tak Lulus Uji Emisi di DKI Bakal Ditilang
"Bayangkan pula jika ada spesies bakteri lain asli Indonesia yang bisa ditemukan dari lokasi pembuangan sampah seperti Bantar Gebang, Bekasi. Itu adalah salah satu contoh solusi ditawarkan bioteknologi," kata Mario D. Bani, SP, MBiotech, staf pengajar di Faculty Biotechnology i3l, dikutip dari siaran pers yang dibagikan baru-baru ini.
Sementara Phytomining (phyta: tumbuhan, mining: menambang) adalah salah satu metode dalam bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan tumbuhan untuk mengambil mineral tertentu, seperti kobalt, nikel, dan besi dari perut bumi tanpa perlu membuat lubang besar menganga di tanah.
Hal ini sudah mulai diteliti secara lebih mendalam oleh ilmuwan di Australia. Mereka memanfaatkan tanaman asli Australia, Crotalaria novae-hollandiae, yang telah beradaptasi untuk memanfaatkan kobalt dari dalam tanah.
Untuk bisa mendapatkan kobalt murni dari tanaman tersebut, proses ekstraksi dan purifikasi lanjut masih harus dilakukan. Bayangkan, jika ada tumbuhan atau mikroorganisme asli Indonesia yang mampu mengekstraksi emas, tembaga, atau nikel dari dalam tanah tanpa perlu membuka lokasi tambang baru.
Hal lain yang dapat ditawarkan oleh bioteknologi adalah tanaman dengan gen yang termodifikasi (GMO: genetically modified organisms). Banyak orang berpikir bahwa GMO adalah produk gagal yang tidak alami dan berbahaya bagi kesehatan.
Akan tetapi, sebenarnya ada salah satu contoh GMO yang sudah sering kita manfaatkan hasilnya, yakni kapas yang sudah dimodifikasi dengan memasukkan gen bakteri Bacillus thuringiensis.
Gen bakteri tersebut mampu menghasilkan racun yang membunuh serangga hama perusak tanaman kapas. Ketika gen bakteri dimasukkan ke dalam kode genetika tanaman kapas, kapas tersebut menjadi GMO yang dikenal sebagai kapas-bt (Bt cotton) yang selalu dihindari serangga hama kapas karena beracun untuk mereka.
"Alhasil, produksi kapas tetap meningkat, uang yang harus dikeluarkan untuk penyemprotan hama jauh berkurang, dan petani akan mendapatkan hasil yang baik setiap tahun. Satu produk ini saja sudah mampu berkontribusi baik bagi lingkungan, bagi petani, dan bagi ekonomi negara," tambah Mario.
Ia mengatakan, masih banyak produk bioteknologi yang sudah dikembangkan dan dapat dimanfaatkan dalam skala besar di Indonesia.
Hanya saja sayangnya, belum banyak konsumen Indonesia yang sadar akan potensi produk bioteknologi sehingga permintaan di Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan permintaan produk serupa di negara lain seperti Amerika dan Australia.
"Start-up bioteknologi pun masih belum banyak dikembangkan di Indonesia, sehingga justuru Singapura yang selalu mendapatkan tempat pertama sebagai lokasi pengembangan bioteknologi di Asia Tenggara."
"Semua ini dapat berubah dengan cepat di masa mendatang bila kita mulai sadar akan potensi bioteknologi Indonesia dan memanfaatkan potensi tersebut," pungkas Mario.