Suara.com - Bagi kamu yang ngaku traveler, pernahkah mendengar Desa Wisata Nggela? Atau justru memang sudah pernah ke sana?
Jika belum pernah mendengarnya, wajar saja. Sebab desa yang ada di pelosok Flores itu memang belum cukup terkenal. Tapi jangan salah, desa wisata itu seolah punya paket lengkap bagi para traveler.
"Semuanya ada, pantai, air terjun, air panas, tracking," kata Koordinator Kami Latu Tatty, ditemui saat acara pelelangan kain tenun Nggela di Jakarta, Jumat (29/10/2021).
Menurut Tatty, Desa Nggela memang belum banyak dikenal orang. Letaknya berada di dataran kaki bukit dan ujung jalan.
Baca Juga: Kenapa Harga Kain Tenun Mahal? Menparekraf Sandiaga Uno Ungkap Alasannya
Namun, potensi wisata di desa tersebut makin tak terdengar pasca terjadi kebakaran yang meratakan 22 dari 23 rumah adat di desa tersebut pada Oktober 2018. Setelah tiga tahun penantian, harapan masyarakat Desa wisata Nggela untuk kembali membangun puluhan rumah adat akan segera terwujud.
Dari 22 rumah yang habis terbakar itu, kini tersisa 1 rumah adat yang akan dibangun.
Lewat Lembaga Kami Latu yang melakukan lelang pakaian berbahan kain tenun khas Nggela, terkumpul dana sebanyak Rp 155,5 juta untuk membangun rumah adat terakhir.
Tatty mengatakan, untuk membangun satu rumah adat sebenarnya dibutuhkan biaya sekitar Rp 200 juta. Sehingga, kekurangan biaya pembangunan didapatkan dari sumbangan relawan juga dinas setempat.
Bagi Kami Latu, Nggela bukan sekadar desa wisata yang harus kembali dihidupkan.
Baca Juga: Datang ke Jembrana, Ahok Disambut Bupati Dan Dikalungi Tenun Endek
"Saya sebutnya sebuah kampung adat, di mana di Nggela semua ada. Adat ada, alam yang indah ada, kemudian kekuatan tenun, kekuatan komoditas ada, cokelat, jambu mete, kemiri. Jadi saya melihat ada sebuah tempat di mana semua anugerah Tuhan itu tumpah jadi satu,"
Selain kekayaan wisata alam, budaya, juga makanan, menurut Tatty, desa Nggela patut menjadi contoh kehidupan mandiri di mana setiap kebutuhan masyarakatnya cukup terpenuhi dari alam.
"Orang menanam untuk kebutuhan pangan, orang menenun untuk kebutuhan sandang, orang juga menjaga hutan, menjaga kayu, untuk kebutuhan papan. Jadi harusnya bisa menjadi model untuk di banyak tempat bahwa semangat kemandirian itu bukan omong kosong, kita punya," ucapnya.
Pelelangan pakaian dan kain tenun sengaja dipilih sebagai salah satu bagian penggalangan dana, sebab menurut Tatty, tenun menjadi kekuatan bagi masyarakat Nggela. Dari 22 pakaian dan 3 kain tenun yang terjual, paling murang dibandrol seharga Rp 5 juta. Sedangkan harga tertinggi mencapai belasan juta rupiah.