Suara.com - Seperti layaknya seorang profesional, sebuah topi hitam khas pelukis tak pernah ketinggalan digunakan oleh Nathan. Dadanya dibalut celemek bermotif bunga. Sementara di pangkuannya sebuah kanvas berwarna hitam mulai terlihat guratan dari kuas cat yang ada di tangan kanannya. Dengan perlahan, kuas yang telah dibalut cat warna merah muda ia tarik dari atas kanvas ke bawah.
Tangannya juga mulai belepotan warna merah dan putih dari cat yang ia gunakan. Kanvas yang sedari tadi di pangkuannya, kini mulai penuh dengan tarikan garis-garis abstrak dengan dominasi warna merah, merah muda dan juga putih. Bakat melukis anak laki-laki bernama lengkap Nathanael Andhika Santoso ini sebenarnya baru terlihat beberapa waktu lalu.
“Down syndrome,” cerita ibunya, Ria Sugijanto.
Sejak lahir, Nathan didiagnosis dokter mengalami down syndrome, sebuah istilah medis untuk menggambarkan kelainan genetik yang dibawa sejak lahir pada kromosom 21. Di usianya yang baru satu hari, ia didiagnosis mengalami arteria ani, suatu kondisi yang membuat anus pengidapnya tidak terbentuk dengan sempurna. Butuh lima kali operasi atau sekitar delapan bulan untuk mengatasi masalah pada anusnya.
Baca Juga: Sedih! Atlet Disabilitas Banyuwangi Raih Berbagai Prestasi Tanpa Didukung Pemda
Di usia 16 bulan, Nathan juga didagnosis mengalami leukemia atau kanker darah. Kondisi ini terjadi akibat tubuh terlalu banyak memproduksi sel darah putih abnormal. Ia mesti melalui perawatan empat hingga enam bulan untuk bisa menyembuhkan leukemia yang dialaminya. Praktis selama kurang lebih dua tahun dihabiskan untuk mengatasi masalah kesehatan fisiknya.
“Setelah selesai masalah kesehatan fisik, baru kami selaku orang tua fokus pada isu tumbuh kembangnya,” sahut Ria.
Nathan yang berusia 17 tahun, saat ini baru mengenyam pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada anak disabilitas seperti Nathan, kemampuan intelektualnya relatif lebih lambat dari usia biologisnya saat ini. Ria sendiri tidak tahu pasti berapa usia intelektual Nathan saat ini. Berbagai terapi dan pendekatan untuk merangsang perkembangannya juga telah diberikan Ria dan suami, Iman Santoso, selama bertahun-tahun. Tapi, pandemi Covid-19 kemudian melanda.
Kondisi itu membuat Nathan sulit untuk mendapatkan pendidikan yang optimal. Ria dan Iman pun segera putar otak agar Nathan bisa tetap terus berkegiatan sambil melatih kemandiriannya. Hingga kemudian Ria memperkenalkan kanvas, kuas beserta cat pada Nathan. Mulanya Ria hanya iseng mengirimkan hasil corat-coret Nathan di atas kanvas ke grup Whatsapp keluarga. .
“Saat saya kirim ke grup WhatsApp keluarga pada bilang ‘Itu lukisan kamu (Nathan)?’ Pada bilang bagus.” ujar Ria..
Baca Juga: Alokasikan Bantuan untuk Disabilitas, Pemkot Yogyakarta Sasar 80 Orang Penerima Tahun Ini
Dari situ, Ria makin rutin menyediakan dan memberikan kanvas beserta, cat dan kuasnya untuk Nathan. Kian hari, kemampuan melukis Nathan juga makin moncer. Tangannya makin lihai menarik garis demi garis di atas kanvas menjadi sebuah lukisan. Karya itu kemudian dibawa ke lingkungan yang lebih luas. Ria memperkenalkannya ke lingkungan gereja, khususnya pada Ida, penggerak Rumah Belajar Kharis yang berkegiatan di Gereja Santa Monika, Serpong, Tangerang Selatan.
Bisa Berkarya dan menghasilkan
Rumah Belajar Kharis sendiri, mulanya justru didirikan untuk tempat berbagi bagi orangtua dengan anak disabilitas bagi para jemaat di Gereja Santa Monika Serpong, Tangerang Selatan. Komunitas itu telah berdiri sejak tahun 2002. Namun sempat vakum, dan baru kembali aktif pada tahun 2016 lalu.
Rumah Belajar Kharis jadi semacam wadah anak disabilitas untuk mengembangkan potensinya. Termasuk Nathan yang kini menjual karyanya dengan label Colours by Nathan.
“Selain Nathan, ada juga label lainnya seperti Brian’s kitchen, dan Amanda’s kitchen,” cerita Ida.
Sebelum pandemi setiap minggunya mereka biasa berkumpul di Rumah Belajar Kharis untuk berkegiatan. Di sana mereka melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan minatnya. Ada yang memotong, mengupas dan mengolah bahan makanan, sementara yang lain asyik dengan kertas, pensil warna, atau kanvas untuk melukis.
Namun sejak pandemi melanda, semua kegiatan akhirnya dilakukan di rumah masing-masing, termasuk Nathan juga masih tetap melukis dan menghasilkan karya. Lewat Rumah Belajar Kharis, setiap anak tidak hanya didorong untuk bisa menghasilkan karya. Tapi juga didampingi dalam hal pengemasan hingga pemasaran. Meski demikian, ada satu hal yang selalu ditekankan oleh Ida.
“Saya enggak mau orang beli dengan dasar kasihan, tapi terus sudah,” kata Ida.
Menurutnya, pola pikir yang cenderung mengasihani anak disabilitas justru membuat kegiatan yang dilakukan sulit untuk bisa berlanjut. Dengan demikian juga akan sulit bagi mereka untuk bisa mencapai kemandirian. Oleh sebab itu, dalam setiap prosesnya, Ida juga selalu mengedepankan kualitas dari karya yang dibuat oleh anak-anak disabilitas ini.
“Saya bilang kita pakai test food segala. Berkali-kali uji coba,” ujar Ida.
Bukan hanya itu, Ida juga ingin bahwa semua produk yang dihasilkan juga punya kualitas wahid yang bisa bersaing di pasaran. Bahkan, Ida juga berani memasarkannya dengan harga yang relatif tinggi. Seperti misalnya tas dan juga scarf yang dibuat oleh Nathan, masing-masing dijual dengan harga Rp 250 ribu dan Rp 195 ribu. Sehingga, mereka yang membeli karya dari anak berkebutuhan khusus adalah orang-orang yang sudah bisa mengapresiasi dan menghargai kemampuan anak disabilitas apa adanya.
“Selama stigma yg tertempel di benak bahwa anak-anak ini ‘bukan siapa-siapa’ dan "tidak akan bisa apa-apa", rasa menghargai tidak akan ada,” kata Ida.
Bahkan, Ida mengungkapkan bahwa hasil penjualan tas dan juga scarf COLOURS by Nathan juga ikut disumbangkan ke Ayo Sekolah Ayo Kuliah (ASAK), suatu program Keuskupan Agung Jakarta yang jadi sarana umat Katolik untuk membantu pendidikan bagi masyarakat kurang mampu.
“Dengan cara ini, kami juga ingin mengubah mindset masyarakat bahwa yang berkebutuhan khusus itu juga bisa berbagi kepada masyarakat, bukan selalu yang harus disumbang dan dikasihani,” kata Ida.
Mendorong kemandirian dan menghapus stigma
Ida mengakui bahwa di masyarakat sendiri memang masih terdapat stigma pada bahwa anak disabilitas seringkali dianggap beban bagi masyarakat. Oleh sebab itu, melalui Rumah Belajar Kharis, ia ingin terus mengupayakan sekaligus membuktikan bahwa anak disabilitas bukan hanya bisa mandiri, tapi juga ikut berkontribusi bagi masyarakat.
“Anak-anak berkebutuhan khusus bukan ’beban’ masyarakat, melainkan "bagian" dari masyarakat.” kata Ida.
Ia melanjutkan, bahwa inklusivitas itu bisa dimulai dengan mengubah pola pikir dan menghapus stigma pada anak-anak disabilitas. Ida menganggap bahwa masyarakat seringkali menuntut orang dengan disabilitas dengan standar non-disabilitas. Sehingga, anak-anak disabilitas baru dianggap hebat jika berprestasi dan memenuhi standar masyarakat. Padahal, lanjut Ida, yang semestinya diubah dan beradaptasi ialah masyarakat umum agar bisa lebih terbuka terhadap orang dengan disabilitas.
“Tapi mindset orang, ABK (anak berkebutuhan khusus) hebat kalo dia bisa nunjukin prestasi yg luar biasa. Mereka punya kelebihan semua. Masalahnya ada nggak dukungan untuk mengeluarkan kelebihan itu?”
Lebih lanjut, Ida mengatakan, bahwa pendekatan terapi, dan pendidikan bagi anak disabilitas akan sia-sia, jika pada akhirnya masyarakat masih sulit untuk menerima dan terus memberikan stigma.
“Saya selalu bilang kalau selama ABK apapun diajarin, kalau masyarakat enggk nerima, ya nggak ketemu.”