Suara.com - Pandemi Covid-19 ternyata juga berdampak terhadap angka perceraian di sejumlah daerah. Kondisi memaksa perempuan mengambil alih kepemimpinan rumah tangga. Padahal, posisi perempuan kepala keluarga tergolong rentan baik secara sosial maupun ekonomi.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik pada 2020, secara keseluruhan ada 11,44 juta keluarga dikepalai oleh perempuan. Itu berarti 15,7 persen dari total rumah tangga di Indonesia. Dibandingkan 2016, angkanya naik 31 persen. Sebagian besar keluarga tersebut secara sosial dan ekonomi merupakan kelompok menengah ke bawah.
Jumlah perempuan kepala keluarga ini diyakini terus bertambah seiring pandemi masih berlangsung. Pendataan pun belum mencakup semua perkembangan yang terjadi.

Menurut Co-Direktur Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Fitria Villa Sahara, 95 persenperempuan kepala keluarga ini bekerja pada sektor informal seperti pedagang, buruh, petani, atau buruh tani.
Hampir separuh dari mereka tingkat pendapatannya kurang dari Rp500 ribu tiap bulannya. Sedangkan 32,6 persenpendapatannya hanya sampai Rp1 juta per bulan. Hanya 18,3 persenyang pendapatannya lebih dari Rp1 juta. “Sebelum pandemi mereka sudah prasejahtera. Pandemi membuat mereka makin jauh dari sejahtera,” kata Villa.
Pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) merintangi aktivitas ekonomi mereka. Di sisi lain, kebutuhan pengeluaran pendidikan untuk anak-anaknya meningkat dengan adanya kebijakan sekolah dari rumah.
Nur Haryati, 46 tahun, salah satu perempuan kepala keluarga yang berjuang di tengah badai pandemi. Sejak bercerai dengan suaminya pada 2014, warga Bantul, Yogyakarta, ini menanggung sendiri kebutuhan dua anaknya. Selama pandemi, dia bekerja sebagai buruh harian usaha makanan rumahan.
“Gajinya Rp40 ribu sehari,” ujarnya. Penghasilan ini pun tak menentu karena dia hanya masuk kerja berdasar kebutuhan majikan.
Penghasilan Haryati jelas jauh dari kata cukup mengingat dua anaknya masih bersekolah. Pada Maret tahun ini, Haryati sempat diterima bekerja di pabrik garmen di Bantul dengan gaji Rp1,5 juta. Namun, kondisi tersebut hanya berlangsung empat bulan. Penerapan PPKM menghentikan operasional pabriknya.
Baca Juga: Beauty Moves You, Komitmen Wardah Untuk Bergerak Membawa Manfaat
Bagai jatuh tertimpa tangga, ponsel yang biasa digunakan keluarga itu rusak. Padahal, anaknya membutuhkan peranti tersebut untuk bersekolah dari rumah. Haryati terpaksa harus membobol tabungan satu-satunya demi kelancaran pendidikan anaknya.