Suara.com - Beberapa tahun lalu terdengar kabar bahwa kopi akan punah akibat perubahan iklim. Tentu saja berita ini mengejutkan para penggemar kopi sejati. Banyak yang tak percaya, lantaran budaya ngopi sudah sejak lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, apakah benar bahwa kopi akan punah?
Renata Puji Sumedi Hanggarawati, Agroecosystem Program Manager dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), menjelaskan, perubahan iklim tentu akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan, salah satunya pada ekosistem dan bentang alam, dan pada makhluk hidup.
Ia mencontohkan, dampak perubahan iklim sudah dirasakan. Hanya saja, kita tidak aware. Misalkan, perubahan siklus musim hujan dan kemarau.
Tanaman kopi juga tentu ikut terdampak perubahan iklim. Musim makin sulit diprediksi, musim panen berubah, hama penyakit meningkat. Gejala itu sudah dikeluhkan oleh petani kopi di Sumatra dan Flores Manggarai, yang selama ini menjadi lokasi program Yayasan KEHATI. Degradasi lahan dan kondisi ekosistem yang tidak mendukung akan berdampak pada penurunan produksi kopi.
Baca Juga: 5 Cafe Instagramable di Jakarta Selatan, Siapkan HP yang Bisa Tangkap Gambar Low Light Yah
Tapi, Puji meyakini, kopi tidak akan punah, selama kita dapat turut mengurangi dampak perubahan iklim, baik dalam hal adaptasi maupun mitigasi.
Namun, sebenarnya banyak faktor yang bisa menyebabkan menurunnya produksi kopi, misalnya sisi produktivitis, aspek lahan, serta aspek konsumsi.
“Memang ada estimasi bahwa sejumlah wilayah di kawasan Nusa Tenggara Timur, termasuk Flores, misalnya, akan jadi lebih kering. Hal ini tidak saja berdampak pada tanaman kopi, melainkan juga pada flora dan fauna yang hidup di daerah tersebut. Keanekaragaman hayati memang berpotensi terancam oleh perubahan iklim, kalau kita tidak mampu melakukan intervensi dalam bentuk adaptasi dan mitigasi dengan baik,” kata Puji.
Sementara itu, barista sekaligus pemilik kedai kopi, Viki Rahardja, melihat alasan lain kenapa kopi disebut-sebut akan langka. Ia menilai, dengan pertumbuhan kedai kopi yang begitu menjamur, suplai dan permintaan jadi tidak seimbang. Produksi kopi di Indonesia tidak sebanding dengan pertumbuhan coffee shop yang begitu cepat.
Jelang Hari Kopi Internasional yang jatuh setiap 1 Oktober, dan menjaga agar kopi tidak benar-benar punah, ini saatnya #mudamudibergerak! Lima cara berikut bisa sama-sama kita lakukan:
Baca Juga: Kopi Petani Lokal Disuguhkan Hotel di Labuan Bajo, Disparekraf: Bukti Tidak Ada Monopoli
1. Jalin kolaborasi dengan petani kopi
Puji mengamati, petani kopi di kawasan Flores Manggarai didominasi oleh orang tua. Masih jarang ada anak muda yang tertarik untuk menjadi petani. Di sinilah diperlukan berbagai dukungan dari para pencinta kopi.
“Anda bisa mengadakan pelatihan yang membuat anak muda tertarik untuk jadi petani kopi. Misalnya, workshop untuk jadi barista. Kalau ada yang punya pengetahuan untuk mengolah limbah kopi, Anda bisa bantu mereka agar bisa memanfaatkan limbah. Misalnya, dibuat menjadi bahan sabun atau lulur. Atau, ketika ada yang mengalami kesulitan pemasaran, maka Anda yang ahli dalam bidang tersebut bisa membantu membukakan digital platform,” kata Puji.
Di sisi lain, para pengusaha kopi yang kini semakin banyak juga perlu menerapkan fair trade. Sering kali pengusaha tidak mementingkan kualitas, melainkan mengutamakan harga murah. Puji menegaskan, sebetulnya tidak harus membeli dengan harga sangat tinggi, tapi diupayakan agar harganya fair bagi produsen.
Viki bercerita, ia sendiri sering mencari kopi dengan langsung mendatangi perkebunan kopi. “Dulu kopi dijual mentah saja, sehingga harganya cenderung murah. Namun, sekarang biji kopi dijual pascapanen, yang sudah melalui beberapa proses. Proses alamiah yang lama dan rumit ini akan mendongkrak harga biji kopi. Saat membeli kopi dengan harga mahal itu, kami mendapatkan karakter kopi yang diinginkan. Biasanya kami membeli dalam jumlah besar, katakanlah satu ton, lalu kami tawarkan kepada teman-teman sesama pengusaha kopi,” kata Viki, yang sebelum pandemi kerap melakukan edukasi langsung kepada petani.
2. Terlibat dalam kegiatan konservasi
Kopi bukan tanaman yang soliter. Artinya, ia tidak bisa tumbuh sendirian saja. Tanaman kopi memerlukan tanaman penaung yang fungsinya antara lain untuk menahan angin, juga menjaga tanaman kopi dari sinar matahari dan curah hujan yang tinggi. Tanaman-tanaman penaung ini perlu ditanam ulang.
Kalau tidak punya kesempatan untuk menanam bibit secara langsung, Anda bisa ikut berdonasi dengan cara mengadopsi bibit pohon atau adopsi hutan.
“Berdonasi dan aksi menanam kembali ini sangat penting untuk melindungi lahan perkebunan kopi agar lingkungannya terus terjaga,” kata Puji.
Ia juga mengapresiasi gerakan-gerakan dari para pemilik kedai kopi yang punya kebijakan terkait kelestarian kopi. Misalnya, mereka menetapkan, dengan membeli kopi tertentu berarti konsumen sudah berdonasi untuk menjaga kelestarian kopi Nusantara dan membantu masyarakat petani kopi tersebut. Hanya saja, ia melihat, gerakan tersebut belum terlalu masif. Gerakan dari konsumen juga sangat diharapkan untuk membantu berdonasi, bukan sekadar membeli dan menikmati kopi.
3. Minum kopi lokal ramah lingkungan
Puji bercerita, kopi merupakan sumber penghasilan terbesar masyarakat Flores Manggarai. Lebih dari 50% sumber penghidupan mereka berasal dari kopi. Selain itu, karena kebun kopi di sana dikelola secara agroforest, bukan monokutur, banyak tanaman lain yang tumbuh di lahan mereka termasuk tanaman penaung kopi sebagai sumber pendapatan.
Oleh karena itu, dengan mengonsumsi kopi lokal, berarti kamu sudah membantu kesejahteraan petani. Saat mereka bisa sejahtera dari kopi, maka mereka tidak akan menjual lahan untuk dialih-fungsikan. Kamu pun akan selalu bisa menikmati kopi.
Viki bercerita, sebetulnya harga kopi lokal justru lebih mahal daripada kopi impor. Itu berarti, kopi lokal punya posisi yang sangat bergengsi di dunia perkopian Indonesia.
Kopi impor bisa murah karena negara penghasilnya punya stok berlimpah. Hal ini terjadi karena produktivitas perkebunan yang terbilang baru jauh lebih tinggi daripada perkebunan lama.
Di Indonesia, cerita Viki, masih banyak terdapat perkebunan kopi yang usianya sudah puluhan tahun. Contohnya, pohon-pohon kopi di Flores Manggarai sangat tinggi karena usianya sudah tua.
Jika menengok sejarah kopi di Flores Manggarai, Puji menjelaskan, diperkirakan kopi dibawa oleh para misionaris sekitar tahun 1930. Mereka memperkenalkan kopi sebagai tanaman perkebunan dan mereka menanamnya tanpa pupuk atau pestisida kimia. Seiring waktu, karena mengejar produktivitas, maka kemudian digunakan input-input lain, termasuk bahan kimia.
“Karena kopi merupakan tanaman agroforest, berarti di sekitarnya ada tanaman lain juga. Misalnya, cengkeh dan kemiri. Dengan begitu, tanah di area pohon kopi bisa terkontaminasi. Pupuknya bukan untuk pohon kopi, tapi mengenai pohon kopi. Atau, area perkebunan kopi terkena aliran air dari persawahan yang pakai pupuk kimia. Karena itu, kami sedang mengupayakan agar perkebunan kopi ini dikelola sesuai tata kelola ekologi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, mulai dari budi daya hingga pascapanen,” kata Puji.
4. Kenali asal muasal kopimu
Puji menyebutkan, konsumen perlu aware terhadap apa yang mereka konsumsi. Terkait dengan kopi, ia menyarankan agar orang-orang kota juga mengenali dari mana kopi itu berasal, di mana lokasi perkebunannya, kelompok petani mana yang menanamnya, dan siapa nama petaninya.
Ia menilai hal ini menjadi penting agar terbangun connectivity. Ketika seseorang punya koneksi dengan kopi tertentu, maka ia dengan senang hati ikut mempromosikan, sekaligus mencari cara untuk membantu pengembangannya.
Viki bercerita, dulu ia menjelaskan soal kopi kepada pelanggan hanya lewat tulisan-tulisan kecil. Para barista di belakang meja tak bisa bercerita banyak tentang asal kopi yang mereka ramu dan sajikan.
Sekarang, lewat media sosial konsumen bisa diajak untuk melihat foto-foto perkebunan yang cantik, dilengkapi keterangan soal ketinggian lahan, misalnya.
“Yang lebih seru, konsumen bisa mendapat cerita langsung dari barista soal asal kopi, juga soal karakter dan cita rasanya yang khas. Seandainya kedai kopi itu memakai kopi house blend (campuran sendiri), konsumen bisa bertanya campuran kopinya apa saja. Ketika pengetahuan akan kopi lokal bertambah, kita jadi bangga minum kopi lokal,” kata Viki.
5. Cicipi berbagai kopi Nusantara
Di Indonesia terdapat banyak sekali daerah perkebunan kopi, dan setiap daerah menghasilkan kopi dengan karakter berbeda. Meski bibitnya sama, karena kelembapan dan kontur tanahnya berbeda, maka karakter kopinya bisa berbeda pula.
Viki mengamati, jarang sekali ada negara yang setiap daerahnya punya kopi. Tidak seperti Indonesia, yang di setiap pulaunya punya daerah penghasil kopi.
Viki menyebutkan, penyebutan jenis kopi di Indonesia umumnya berdasarkan daerah perkebunannya. Misalnya, kopi Kintamani, kopi Malabar, kopi Aceh Gayo, dan kopi Toraja Kalosi.
Padahal, sebenarnya kopi dari suatu pulau itu bermacam-macam. Selain Kintamani, di Bali ada kopi Mengani. Sedangkan di Jawa Barat, selain kopi Malabar, ada kopi Ciwidey, kopi Gunung Puntang, dan kopi Papandayan.
Saatnya #TimeforActionIndonesia. Bagi pencinta kopi, Viki menyarankan untuk mencoba kopi dalam dalam berbagai cita rasa. Misalnya, minggu ini Anda sudah mencicipi kopi Flores Manggarai dengan rasa khas chocolaty. Ketika datang lagi ke kedai kopi, Anda bisa mencoba kopi yang rasanya fruity.
“Bisa dari biji kopi yang berbeda, atau dari biji kopi yang sama tapi diproses dengan cara berbeda. Proses sangrai kopi yang berbeda-beda ini akan menghasilkan cita rasa minuman kopi yang unik,” kata Viki.
Sepakat dengan Viki, Puji mengajak Anda untuk minum beragam kopi Nusantara yang enak-enak.
“Kopi Nusantara sangat beragam. Budaya maupun cita rasanya sangat khas. Jadi, mari kita bersama-sama mempertahankannya. Ada banyak cerita di balik secangkir kopi yang Anda minum,” pungkasnya.