Mengenal Masyarakat Adat di Indonesia, Benarkah Tertutup dan Menarik Diri dari Dunia Luar?

Vania Rossa Suara.Com
Rabu, 15 September 2021 | 12:49 WIB
Mengenal Masyarakat Adat di Indonesia, Benarkah Tertutup dan Menarik Diri dari Dunia Luar?
Masyarakat Adat Saga, Ende, NTT. (Foto: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Indonesia memiliki ribuan komunitas Masyarakat Adat yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Tapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Masyarakat Adat?

Mina Setra, Deputi Sekjen untuk Urusan Sosial Budaya di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menjelaskan, bahwa Masyarakat Adat merupakan sekelompok manusia yang memiliki identitas budaya yang sama, serta ikatan batiniah yang kuat atas suatu ruang geografis tertentu sebagai rumah bersama. Rumah ini dikuasai, dijaga, dan dikelola secara turun-temurun sebagai wilayah kehidupan sejak zaman leluhurnya.

Karakteristik dari Masyarakat Adat adalah memiliki aturan adat, nilai-nilai adat, adat istiadat, serta legenda. Seperti halnya sebuah organisasi, Masyarakat Adat juga memiliki susunan pengurus dalam kelembagaan adat.

Banyak orang mengira bahwa kehidupan Masyarakat Adat sangat tertutup dari dunia luar. Mengenai hal ini, Mina menjelaskan bahwa saat ini hanya sebagian kecil saja Masyarakat Adat yang mengisolasi diri seperti itu. Misalnya, Baduy Dalam dan Orang Rimba.

Baca Juga: Kepala Desa Kanekes: Tidak Ada Warga Baduy yang Terpapar Covid-19

Namun menurut Mina, kini sebagian besar anggota Masyarakat Adat sudah berbaur dengan dunia luar. Akibatnya, kehidupan mereka juga dipengaruhi oleh dunia luar, termasuk dalam berpakaian.

Mengenai kehidupan Masyarakat Adat yang tertutup dari dunia luar, travel blogger Satya Winnie punya pandangan tersendiri.

Satya pernah mengunjungi kampung-kampung adat. Dan salah satu insight yang ia dapatkan adalah soal slow living Masyarakat Adat.

travel blogger Satya Winnie. (Dok. pribadi)
travel blogger Satya Winnie. (Dok. pribadi)

“Kehidupan yang kita jalani selama ini serba cepat, sedangkan di kampung adat serba lambat. Namun, hal itu tidak mengurangi kebahagiaan mereka. Manusia dituntut untuk beradaptasi, tetapi ketika memilih untuk tidak beradaptasi dengan teknologi, ternyata tidak apa-apa, kok. Dunia mereka tidak runtuh hanya karena tidak punya handphone atau televisi. Inilah yang saya kagumi dari mereka,” kata Satya, mengutip siaran pers Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang diterima Suara.com.

“Masyarakat Adat merupakan masyarakat yang dinamis, sangat senang kedatangan orang dari luar komunitas. Pada dasarnya, mereka punya rasa ingin tahu yang tinggi. Yang jadi persoalan justru para tamu. Tidak semua turis bisa menghargai kebudayaan dan lingkungan,” lanjut Mina.

Baca Juga: Gus Muhaimin Minta Pemerintah Libatkan Masyarakat Adat dalam Pembangunan Bangsa

Mengenai hal ini, Satya bercerita bahwa seorang teman yang ia ajak ke Kampung Adat Waerebo, Nusa Tenggara Timur, pernah datang dengan mengenakan dress super mini.

“Padahal seharusnya turis belajar tentang cara bertutur dan berperilaku, jika ingin mengunjungi kampung adat. Memang belum ada panduan tertulisnya, tapi kita bisa gunakan common sense, paling tidak memakai baju yang sopan,” kata Satya, yang selalu membawa sarung ketika bertandang ke kampung adat.

Satya pun mengajak masyarakat modern untuk jadi turis yang bertanggung jawab, sekaligus turis yang manusiawi. Ketika mengunjungi Masyarakat Adat, jangan hanya datang untuk foto-foto.

“Ajaklah mereka berinteraksi. Kalau mereka belum bisa berbahasa Indonesia atau kita tidak bisa berbahasa mereka, saya biasanya menggunakan bahasa tubuh. Mari tinggalkan jejak yang baik,” Satya memberi saran.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI