Suara.com - Piring pelepah pinang dibuat oleh warga Desa Sinar Wajo dan Desa Sungai Beras yang berlokasi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, sebagai solusi mengatasi permintaan akan pinang dan harga pinang yang terus menurun sejak pandemi.
Inovasi piring pelapah pinang ini bahkan diapresiasi oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Melalui akun Instagramnya, Sandiaga menyebut inovasi tersebut sebagai langkah cemerlang.
Sandiaga juga menilai inovasi ini telah menghadirkan lapangan kerja baru yang mengedepankan aspek kelestarian lingkungan. Ia berharap, jika piring pelepah pinang ini makin dikenal publik, permintaan akan meningkat, sehingga produksinya bisa terindustrialisasi dan harga jualnya bisa lebih rendah.
Tak hanya inovatif, piring pelepan ini juga memiliki keunggulan yang membuatnya layak untuk dibeli. Apa saja?
Baca Juga: Bocah Cowok Bantu Ibu Cuci Tumpukan Piring, Videonya Bikin Senyum-senyum Sendiri
1. Solusi limbah pelepah
Karena mengandalkan pinang sebagai sumber pendapatan, perkebunan pohon pinang mendominasi area di sekitar Desa Sinar Wajo dan Desa Sungai Beras. Di satu sisi, pinang bisa menopang ekonomi masyarakat. Namun di sisi lain, sampah dari pelepah pinang luar biasa banyak. Jika pelepah itu dibiarkan berserakan di perkebunan dan kemudian mengering, saat musim kemarau, sampah pelepah itu jadi mudah terbakar. Hal ini berbahaya karena bisa memicu kebakaran lahan.
“Ketika inovasi piring pelepah pinang dikembangkan, petani diuntungkan. Mereka tidak harus membersihkan area perkebunan dari pelepah yang setiap hari berjatuhan dan mengotori kebun. Perajin boleh mengambil dan memanfaatkan limbah pelepah itu sebagai bahan baku, tanpa harus membayar sedikit pun. Jadi, bahan baku yang begitu berlimpah bisa didapatkan secara gratis,” kata Ayu Shafira, Fasilitator Komunitas dan Kabupaten Komunitas Konservasi Indonesia - Warung Informasi Konservasi atau KKI Warsi yang melakukan pendampingan terhadap pengembangan produk kerajinan dari pelepah.
2. Bisa dipakai ulang
Konsep piring pelepah pisang ini bukan untuk satu kali pakai. Artinya, piring ini bisa digunakan berulang hingga maksimal 8 kali. Karena itu, piring pelepah pinang bisa menggeser posisi styrofoam.
“Namun, hal ini juga tergantung pada proses pencucian. Kalau piring direndam, kemungkinan besar serat piring akan melunak, karena air masuk ke celah-celah piring, sehingga ia tidak lagi kokoh. Lebih baik dibasuh menggunakan air, tanpa direndam dahulu. Juga tidak perlu digosok terlalu keras dengan sabun,” kata Ayu, memberikan tip mencuci.
3. Harga terjangkau
Sejak mulai menekuni usaha piring pelepah pinang pada November 2020, hingga April 2021 kedua desa ini sudah menjual sekitar 400 buah piring secara total. Harga satu buah piring berkisar antara Rp 5.000 – Rp 6.000.
Baca Juga: Mertua Punya Aturan Aneh, Wanita Ini Disuruh Cuci Piring Pakai Air Kolam Ikan
Ayu menjelaskan, kalau piringnya dibentuk seperti styrofoam yang tertutup, artinya memerlukan dua buah piring pelepah yang kemudian ditangkupkan. Itu berarti harganya bisa menjadi dua kali lipat. Harga ini masih terbilang murah, jika dibandingkan harga piring yang dipasarkan melalui toko online. Ayu pernah menemukan piring yang sama dijual seharga Rp 16.000 di Bali.
Sejauh ini piring tersebut baru dipasarkan di sekitar Jambi dan belum meluas ke daerah lain. Robert Rudini, content creator yang juga konsultan traveling, menyarankan, agar bisa menjangkau konsumen di wilayah lain, ada baiknya dibuatkan konten di media sosial.
“Orang belum bisa membayangkan, bagaimana jika piring ini diberi kuah atau saus, apakah akan bocor atau tidak. Dengan konten yang tepat, buyer yang tertarik bisa melihat referensi konten. Setelah membuat konten, kita bisa bergerak aktif mencari buyer yang memakai produk sejenis,” kata Rudi, yang melihat bahwa demand terbesar adalah Jawa dan Bali.
4. Corak cantik yang menarik
Mengutip siaran pers yang diterima Suara.com, piring yang dipasarkan kini tersedia dalam berbagai ukuran dan bentuk. Ada yang persegi panjang, ada juga yang bundar dalam diameter berbeda-beda. Dari segi warna, piring tersebut terbagi menjadi 3 grade, yaitu A, B, dan C. Grade A adalah piring nyaris tanpa corak atau polos, grade B adalah piring setengah bermotif, dan grade C adalah piring dengan banyak motif.
“Secara kualitas tidak ada perbedaan sama sekali di antara 3 grade tersebut. Warna dan coraknya benar-benar tergantung pada pelepah pinang yang kita dapatkan. Rata-rata konsumen menyukai piring yang bermotif seperti serat kayu alami. Harga piring yang bermotif dikenai harga sedikit lebih mahal, karena tampilannya lebih bagus. Tapi, selisihnya hanya Rp 500, kok,” kata Ayu, menjelaskan.
5. Solusi ekonomi dan lingkungan
Dalam mengerjakan piring pelepah pinang ini, setiap desa memiliki rumah produksi. Lima belas orang dari tiap desa memproduksi piring secara swadaya. Tugas mereka terbagi-bagi, Seperti perusahaan kecil, ada yang bekerja di bagian produksi untuk mencetak pelepah, dan ada yang bertanggung jawab di bagian pemasaran.
“Inovasi piring pelepah pinang ini telah meningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya di tengah berbagai pembatasan terkait penanggulangan pandemi Covid-19. Di samping itu, kedua desa ini mendapatkan ancaman konversi lahan. Ada wacana bahwa komoditas pinang yang ramah gambut ini akan dialihkan menjadi komoditas tidak ramah gambut, seperti sawit. Jika telah mendapatkan penghasilan tambahan dari piring pelepah, para petani bisa tetap menanam pohon pinang dan tetap menjaga kelestarian ekosistem gambut, khususnya di wilayah Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh,” kata Asrul Aziz Sigalingging, Koordinator Project KKI Warsi.
Ia melanjutkan, dengan membeli piring pelepah pinang, konsumen bisa membantu dari sisi ekonomi dan ekologi. Selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, konsumen akan berkontribusi secara langsung terhadap penyelamatan lingkungan.
Piring hasil produksi kedua desa itu pun sudah diberi merek sesuai nama KUPS mereka. Jika membeli produk mereka, konsumen akan mendapatkan kartu cantik berisi ucapan terima kasih, karena secara langsung telah mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, sekaligus menyelamatkan ekosistem lahan gambut.