Baju Adatnya Dipakai Jokowi, Ini Sejarah Suku Baduy, Asal Usul, Agama, dan Adat Istiadat

Rabu, 18 Agustus 2021 | 12:10 WIB
Baju Adatnya Dipakai Jokowi, Ini Sejarah Suku Baduy, Asal Usul, Agama, dan Adat Istiadat
Corak Budaya Suku Baduy
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Presiden Jokowi menjadi sorotan saat menghadiri sidang tahunan MPR-RI pada 16 Agustus 2021 lalu. Jokowi mengenakan baju adat Suku Baduy yang terbilang sederhana menimbulkan daya tarik tersendiri.

Suku Baduy sendiri, jadi suku yang sangat familiar dan berkesan bagi masyarakat di pulau Jawa khususnya bagi yang tinggal di wilayah Banten dan DKI Jakarta. Pasalnya hingga saat ini Suku Baduy masih mempertahankan sekaligus melestarikan nilai dan tradisi nenek moyang.

Mengutip laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, suku baduy terdapat di Desa Kanekes, yang merupakan wilayah adat orang Baduy.

Secara administratif, Desa Kanekes masuk dalam wilayah Kemantren Cisimeut, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Jarak Desa Kanekes dari ibu kota Jakarta sekitar 160 kilometer, sedangkan dari pusat pemerintahan Provinsi Banten di kota Serang jaraknya sekitar 78 kilometer.

Baca Juga: Rudy Susmanto Ingatkan Gotong Royong Untuk Indonesia Tangguh dan Tumbuh

Presiden Joko Widodo. (Dok: Kemenpora)
Presiden Joko Widodo. (Dok: Kemenpora)

Jarak dari pintu masuk Desa Kanekes ke pusat kota Kecamatan Leuwidamar adalah 27 kilometer, dan jarak ke pusat kota kabupaten Lebak di kota Rangkasbitung sekitar 50 kilometer.

Letak desa Kanekes berada di kawasan Pegunungan Kendeng, yang kondisi fisiknya berbukit-bukit. Luas desa tersebut berdasarkan Perda (Peraturan Daerah) Kabupaten tingkat II Lebak Nomor 13 Tahun 1990 adalah 5.101,85 hektar.

Wilayah Kanekes seluas itu meliputi huma (ladang, kebun atau lahan pertanian), permukiman, serta hutan lindung. Masyarakat Baduy tersebar di sekitar 59 kampung.

Asal Usul dan Sejarah Suku Baduy

Situs resmi peta budaya belajar Kemendikbud mengungkapkan, bahwa 'Baduy' merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut. 

Baca Juga: PDIP Makin Sering Kritik Pemerintahan Jokowi, Singgung Mental Terjajah Asing

Berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi di Timur Tengah, yang merupakan masyarakat yang hidup nomaden atau berpindah-pindah.

Kemungkinan lain, karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau orang Kanekes sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti urang Cibeo.

Sejumlah warga Baduy Dalam menggunakan masker berjalan menuju kota Rangkasbitung di Kecamatan Cimarga, Lebak, Banten, Sabtu (30/5). [ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas]
Sejumlah warga Baduy Dalam menggunakan masker berjalan menuju kota Rangkasbitung di Kecamatan Cimarga, Lebak, Banten, Sabtu (30/5). [ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas]

Masyarakat Baduy terbagi menjadi dua kelompok, yaitu suku Baduy luar yang masih menerima teknologi dan cara hidup masyarakat modern disekitarnya, dan suku Baduy dalam yang masih memegang teguh adat istadat dengan menolak adanya teknologi dan cara hidup.

Menurut kepercayaan warga, sejarah suku Baduy dalam berasal dari Batara Cikal, yaitu salah satu dari tujuh dewa yang di turunkan ke bumi. Batara cikal memiliki peran untuk mengatur keseimbangan di bumi.

Versi ini hampir sama persis dengan cerita di turunkannya Nabi Adam, sebagai makhluk pertama dan memiliki tugas untuk mengelola bumi. Suku baduy pun percaya bahwa mereka adalah keturunan Nabi Adam.

Sedangkan pada versi yang lain, para ahli sejarah memiliki pendapat sendiri terkait sejarah suku baduy. Pendapat mereka berdasar pada temuan prasasti sejarah, kemudian di telusuri pula melalui catatan para pelaut dari Portugis dan Tiongkok serta di hubungkan dengan cerita rakyat tentang Tatar Sunda.

Meskipun pada kenyataannya, cerita mengenai Tatar Sunda ini sangat sedikit sekali referensinya. Menurut ahli sejarah, masyarakat baduy (kanekes) memiliki kaitan dengan kerajaan Pajajaran (saat ini wilayah Bogor).

Seperti diketahui kerajaan Pajajaran ada sekitar di abad ke-16. Pada saat kerajaan atau kesultanan Banten belum berdiri, wilayah yang kemudian menjadi Kesultanan Banten, ialah daerah yang sangat penting dan memiliki peranan yang signifikan.

Saat itu, Banten masih menjadi bagian dari wilayah kerajaan Sunda. Banten berfungsi sebagai pelabuhan yang memang terkenal besar.

Ada lagi versi ketiga, peneliti kesehatan masyarakat yang mengunjungi suku Baduy pada 1982 dokter Van Tricht berpendapat, bahwa masyarakat Baduy sudah ada sejak lama di sana dan merupakan masyarakat asli sana.

Menurut Van Tricht, masyarkat baduy terutama warga masyarakat suku baduy dalam memiliki sifat yang menolak keras dan tidak bisa mengadopsi kebudayaan luar.

Selain itu, menurutnya masyarakat Baduy Dalam sangat mempertahankan kebudayaannya. Itu terbukti suku Baduy dalam masih sangat ketat untuk mempertahankan kebudayaan nenek moyang mereka.

Agama suku Baduy

Orang Baduy menganut agama Sunda Wiwitan, yakni keyakinan yang didasarkan pada penghormatan atau pemujaan kepada arwah nenek moyang atau karuhun dan kepercayaan kepada satu kuasa, yakni Batara Tunggal.

Pusat pemujaan mereka berada di puncak gunung yang disebut Sasaka Domas atau Sasaka Pusaka Buana.

Suku Baduy. (Shutterstock)

Objek pemujaan ini pada dasarnya merupakan sisa komplek peninggalan megalitik berupa bangunan berundak atau berteras-teras dengan sejumlah menhir dan arca di atasnya. Itulah yang menjadi tempat para karuhun ’nenek moyang‘ berkumpul.

Keturunan karuhun yang langsung mewakili mereka di dunia adalah puun, yang merupakan keturunan Batara Panjala. Selain sebagai pemimpin tertinggi, puun juga merupakan penguasa agama Sunda Wiwitan, serta pemuka yang paling suci yang harus ditaati segala perintah dan perkataannya.

Puun juga memimpin berbagai upacara tradisional di Baduy, seperti kawalu, ngalaksa, seba, muja, dan tolak bala.

Mata pencaharian suku Baduy

Mata pencaharian orang Baduy dapat dibedakan menjadi dua, yakni mata pencaharian utama dan mata pencaharian tambahan atau sampingan. Mata pencaharian utama seluruh warga Baduy adalah bertani di lahan kering atau disebut ngahuma.

Pekerjaan sampingan di Baduy Tangtu di antaranya menyadap nira dan membuat kerajinan anyaman atau rajutan. Adapun pekerjaan tambahan di Baduy Panamping cukup bervariasi, di antaranya membuat gula aren.

Ada juga kegiatan menenun kain khas Baduy; membuat kerajinan anyaman atau rajutan; berjualan makanan dan minuman ringan, benang, dan kain batik corak Baduy yang dibeli dari Jakarta dan Majalaya.

Kerap juga dijumpai orang Baduy menjual pakaian, madu, dan kerajinan Baduy ke daerah lain; bahkan kini ada yang merintis menjadi pemandu wisata bagi para wisatawan yang berkunjung ke Baduy.

Adat istiadat suku Baduy

Terdapat beberapa adat istiadat suku Baduy, di antaranya seperti Upacara Kawalu  Baduy yang digelar sebagai ungkapan rasa terimakasih terhadap Sang Hyang Karesa atas berhasilnya panen padi huma orang Kanekes setiap tahunnya.

Upacara Kawalu merupakan salah satu tradisi adat yang diselenggarakan sebelum upacara Seba. Adapun tahapannya yaitu, upacara ngalanjakan, upacara Kawalu, upacara ngalaksa, dan terakhir Seba, sebagai puncak dari upacara-upacara adat yang dilakukan orang Kanekes.

Sebagaimana upacara-upacara lainnya yang mengiringi Seba, pelaksanaan Kawalu tidak dapat dilepaskan dari sanksi adat apabila dalam pelaksanaannya terdapat hal-hal yang diluar kebiasaan masyarakat setempat.

Kawalu berasal dari kata walu yang artinya balik (pulang). Jadi, arti dari kata Kawalu adalah kembali. Upacara ini juga biasa disebut sebagai ngukus Kawalu atau membakar dupa untuk mengiringi sesajen pemujaan.

Ada pula upacara Seba suku Baduy, yakni upacara adat yang dilaksanakan untuk kegiatan ritual tahunan warga Baduy dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur untuk menjalin silaturahmi kepada pemerintah Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten, setelah warga Baduy di Banten Selatan tersebut melaksanakan panen hasil pertanian.

Apabila terjadi peristiwa kematian pada masyarakat Baduy, disebut dengan kaparupuhan. Biasanya warga kampung serta kerabat berdatangan menunjukkan rasa duka cita mereka yang mendalam kepada keluarga yang ditinggalkan.

Mereka datang sambil membawa beras, kelapa, gula aren atau makanan yang sudah siap dihidangkan. Mereka jua tanpa ragu menyingsingkan baju dan mengulurkan tangan membantu segala sesuatu terkait dengan pengurusan jenazah dan upacara penguburan.

Selain itu, mereka juga bergotong royong membantu keluarga yang ditinggalkan untuk keperluan hajatan kematian. Pada saat ada kematian, buyut ’tabu’ bagi orang Baduy menangis sampai mengeluarkan suara keras.

Kesenian instrumen musik suku Baduy

Jika mengunjungi Lebak Banten, maka ada kesenian yang disebut dengan Dogdog Lojor, yakni kesenian yang kerap disandingkan dengan alat musik Jawa Barat, angklung. Dogdog lojor dan angklung punya beberapa kesamaan yang khas.

Dogdog lojor, merupakan salah satu kesenian tradisional yang hingga kini masih dipertahankan oleh masyarakat baduy. Disebut dogdog lojor karena terfokus, pada tiga buah alat musik tetabuhan dalam kesenian tersebut.

Sementara, alat kesenian lainnya, yang jumlahnya lebih banyak, adalah dari alat seni angklung. Tiga alat musik tersebut oleh masyarakat baduy sebenarnya bukan bernama dogdog lojor, tetapi bernama bedug, talingtit, dan ketug.

Penamaan dogdog disebabkan suara yang dihasilkan mengeluarkan bunyi dogdog. Lojor berarti panjang, karena ukuran peralatan seni tradisional tersebut yang memiliki panjang sekitar 50 hingga 60 sentimeter.

Penamaan dogdog lojor oleh masyarakat umum disebabkan, seni angklung sudah begitu banyak bertebaran di seantero jawa barat. Sehingga, dipilihlah nama dogdog lojor, sebagai nama kesenian tradisional tersebut.

Belakangan, untuk membedakan seni angklung dari Baduy dengan kesenian angklung lainnya, maka, ditambah satu kata lagi, di belakang nama angklung tersebut yaitu buhun, yang berarti kuno atau lama. Sehingga. Kesenian tersebut bernama angklung buhun.

Sistem pemerintahan suku Baduy

Roda kehidupan orang Baduy diatur oleh dua sistem pemerintahan yang berbeda, yakni sistem pemerintahan formal dan sistem pemerintahan informal. Sistem pemerintahan formal mengacu pada sistem pemerintahan Indonesia untuk mengatur seluruh desa di negeri ini. Secara formal, desa Kanekes dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut Jaro Pamarentah.

Jaro pamarentah dibantu seorang carik dalam melaksanakan tugasnya. Sedangkan sistem pemerintahan informal merujuk pada sistem pemerintahan lokal atau sistem pemerintahan adat.

Sistem pemerintahan adat ini berupa lembaga kapuunan, yang mengharuskan mereka tunduk pada ketentuan adat yang dilaksanakan di bawah kendali pemimpin adat tertinggi, yakni puun.

Dalam lembaga kapuunan, orang Baduy dipimpin oleh puun sebagai pemimpin tertinggi. Selain puun, dalam lembaga kapuunan terdapat sejumlah jabatan yang terdiri atas girang seurat, jaro, baresan, panengen, dukun pangasuh, tangkesan, parawari, dan kokolot. Setiap jabatan dalam lembaga kapuunan memiliki wewenang yang khas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI