Suara.com - Aturan makan 20 menit di tempat umum ramai menjadi bahan pembicaraan, bahkan menuai cemoohan di masyarakat, khususnya media sosial.
Tapi menurut Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Profesor Ari Fahrial Syam, aturan tersebut dibuat bukan tanpa alasan.
Kata Profesor Ari, aturan makan 20 menit dibuat untuk kelompok orang dengan pekerjaan yang tidak memungkinkan mereka makan di rumah atau dibawa pulang, bukan untuk pegawai kantoran yang bisa makan di rumah atau di tempat kerja.
"Misalnya driver taksi atau driver ojek, ada masyarakat kita yang memang tidak memungkinkan untuk makanan tersebut dibawa pulang atau dibawa ke kantor," ujar Profesor Ari saat berbincang dengan Suara.com, Kamis (29/7/2021).
Sementara pekerja kantoran tetap diminta melakukan delivery order dan makan di rumah atau di kantor agar tidak menyebabkan antrian saat makan.
Ia menekankan aturan pelonggaran atau relaksasi yang saat ini diberikan pemerintah, diberikan untuk pedagang kaki lima (PKL) dan mereka yang 'hidup di jalan'.
Apalagi PKL jadi sektor ekonomi yang cukup terdampak selama pandemi Covid-19. "Karena kan intinya, kita lebih baik menghindari pembuka masker di daerah di tempat publik," imbuh Profesor Ari.
Orang dengan pekerjaan yang memaksa mereka untuk makan di jalan ini, kata Profesor Ari, sangat memungkinkan hanya menghabiskan waktu 20 menit hanya untuk makan dan membuka masker.
"Karena kan sifatnya, dia duduk kemudian makan selesai makan dia kembali lagi bekerja. Bukan makan duduk, ngerokok atau nongkrong-nongkrong," ungkapnya.
Baca Juga: Aturan Makan 20 Menit di Rumah Makan Jadi Olok-olok, dr Reisa Kasih Jawaban Ilmiah
Guru Besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI itu juga menyadari perlu adanya penjelasan 20 menit yang dimaksud, apakah dimulai sejak memesan makanan atau hanya sedang makan semata.
"Tapi menurut saya, makna sebenarnya kita buka masker itu pada saat makan. Kalau lagi ngorder tidak, karena memang lagi nunggu dan itu harus pakai masker," pungkas Profesor Ari.