Suara.com - Menikah merupakan salah satu pilihan yang diambil banyak orang untuk saling mengikat komitmen bersama. Bagi umat Muslim sendiri, menikah merupakan salah satu ibadah yang diamanatkan agama.
Tentu, setiap orang hanya ingin menikah sekali dalam seumur hidup. Maka dari itu, memilih pasangan sangat penting bila sudah siap secara fisik, mental, dan finansial.
Pada dasarnya, memilih pasangan ideal wajar-wajar saja, tapi perlu diingat bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Namun seperti idaman orang-orang, pentingkah memilih pasangan kaya dalam Islam?
Dilansir dari Nu Online, dalam ungkapan Imam Syafi’I ada lima aspek dalam menjalani pernikahan. Yang pertama agama, nasab, pekerjaan, merdeka, dan ketidakcacatan.
Baca Juga: Viral Dua Sejoli Berantem di Atas Motor, Kepala Sang Pria Ditabok Berkali-kali
Namun, sebagian murid Imam Syafi’i menambahkan satu aspek lagi yaitu kekayaan.
“Kafa'ah menurut Imam Syafi’i mencakup lima hal: agama, nasab, pekerjaan, merdeka, dan tidak memiliki aib, sebagian muridnya mensyaratkan pula kekayaan. Pendapat Imam Abu Hanifah sama seperti Imam Syafi’i, hanya saja beliau tidak mempertimbangkan aspek selamat dari aib” (Abu Abdullah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimsyaqi al-‘Utsmani as-Syafi’i, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilafi al-Aimmah, [Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah], 1971, h. 177).
Berdasarkan pendapat di atas, kekayaan bukan bentuk parameter dalam menjalankan pernikahan. Hanya saja, profesi atau pekerjaan menjadi tolak ukur yang dipertimbangkan saat menjalankan rumah tangga.
Di kalangan ulama Syafi’iyah, kekayaan dan pernikahan masih berselisih paham. Namun diungkapkan, harta kekayaan bisa hilang kapan saja. Dan jika seseorang memiliki pekerjaan, walau tidak kaya maka diharapkan mampu menghidupi keluarga dari hasil kerja kerasnya.
Hal tersebut juga diungkap oleh Syeh Zainuddin bin Abdul Aaziz al-Malibari, yang mengungkap bahwa kekayaan sama dengan bayangan yang bisa hilang.
Baca Juga: 8 Momen Pernikahan Alika Islamadina, Penuh Haru!
“Dan pendapat yang paling shohih ialah kekayaan itu tidak dipertimbangkan dalam kafa'ah, karena sesungguhnya harta itu umpama bayangan yang dapat hilang. Orang-orang ahli muru’ah dan orang-orang yang bijak tidak pernah berbangga dengan harta” (Syeh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain [Surabaya: Nurul Huda], h. 106).
Jadi, apakah kekayaan dalam pernikahan menjadi tolak ukur? Jawaban tidak harus kaya. Asal mampu dan bisa menafkahi keluarga, sebagaimana yang diungkap lewat surat At-Talaq ayat 7:
Liyuntiq zuu sa'atim min sa'atihii wa man qudira 'alaihi riquhuu falyunfiq mimmaaa aataahul laah; laa yukalliful laahu nafsan illaa maaa aataahaa; sa yaj'alul laahu ba'da'usriny yusraa.
Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.