Suara.com - “Punika satunggaling padamelan sae sarta nelakakenn budi utami” demikian yang disampaikan oleh Soetomo dalam percakapannya dengan Dokter Wahidin Soedirohoesodo menanggapi keinginan Wahidin mewartakan misinya mengumpulkan dana untuk pendidikan bagi rakyat jelata. Percakapan antara murid dan guru di sebuah sekolah kedokteran di zaman Belanda. Kata “budi utami” yang kemudian disambut oleh Soeradji menjadi usulan nama perkumpulan yang mereka gagas.
Semangat para pendiri Budi Utomo 113 tahun lalu yang mengalami konstruksi baru sebagai manusia baru yang merupakan konsekuensi dari pendidikan kolonial memang patut dijadikan panutan dan pelajaran bagi generasi-generasi bangsa ini.
Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai “Sang Revolusioner” tidak menampik adanya pengentalan Jawa dalam Budi Utomo, tapi beliau tetap menginginkan adanya agenda kemodernan demi martabat manusia di negeri yang sedang terjajah.
Tokoh revolusioner lainnya, Ki Hadjar Dewantoro termasuk bagian dari mereka-mereka yang tidak betah dengan misi kolot yang selalu disuarakan dalam perkembangan organisasi. Hal yang dari awal disuarakan Soeradji dengan mengusulkan semboyan Indie Vooruit (Hindia Maju) bukan Java Vooruit (Jawa Maju).
Baca Juga: Mendagri Sebut Tempat Masak di IPDN Kotornya Melebihi Toilet
Selain diskursus Jawa di jalan kemodernan, diskursus yang lebih kental adalah terkait visi organisasi Budi Utomo, yaitu menghendaki adanya perbaikan sosial, meski di awal hanya menyebutkan kata Jawa dan Madura sehingga kata “kemerdekaan” belum disebut.
Namun usaha-usaha menuju visi tersebut yang disampaikan oleh Dokter Wahidin seperti memajukan pengajaran, peternakan, pertanian, perdagangan, teknik, industri dan menghidupkan kembali kebudayaan menjadi pondasi terbukanya semangat dan pemikiran revolusioner di kalangan terdidik terkait kemerdekaan.
Hal ini yang kemudian diantisipasi oleh penjajah Belanda sehingga menggiring Budi Utomo tidak masuk dalam pergerakan politik. Strategi penjajah Belanda antara lain mempengaruhi beberapa peserta Kongres Pertama Budi Utomo untuk mengarahkan hasil kongres antara lain organisasi tidak berpolitik, kegiatan organisasi hanya ditujukan pada bidang sosial-budaya-pendidikan, ruang gerak terbatas pada Jawa dan Madura, serta memiih Tirtokoesoemo (mantan Bupati Karanganyar) sebagai Ketua Budi Utomo Pusat.
Keinginan penjajah Belanda agar Budi Utomo tidak masuk dalam politik juga dilakukan melalui intimidasi melalui peraturan saat itu yaitu Regering Reglement pada Pasal 111 yang melarang mendirikan perkumpulan politik atau yang serupa dengan perkumpulan yang mengganggu ketentraman umum.
Kondisi organisasi yang jauh dari semangat nasionalisme awal ketika dideklarasikan menyebabkan beberap tokoh revolusioner gerah untuk membangkitkan kembali gairah itu. Seorang Indo-Belanda, Douwes Dekker berusaha menyadarkan dan memberikan pengertian akan “tanah air Indonesia”.
Baca Juga: Presiden: Peristiwa G30S Haram Terulang Kembali!
Meski kemudian Douwes Dekker bergerak melalui organisasi Indische Partij yang kemudiaan diikuti berdirinya Sarekat Islam (SI). Budi Utomo sendiri baru bisa berkembang menjadi organisasi yang mempunyai tujuan Indonesia Merdeka pada tahun 1935 dengan meleburkan diri dengan Perhimpunan Bangsa Indonesia (PBI) yang didirikan Soetomo. Peleburan ini melahirkan Partai Indonesia Raya (Parindra).
Dokter dan Politik
Semangat dan gerakan dokter-dokter senior maupun dokter muda atau mahasiswa kedokteran 113 tahun yang lalu jika muncul di era saat ini mungkin akan diterpa banyak stigma. Kalangan dokter selalu dinilai negatif jika mencoba masuk dalam zona politik. Seakan-akan zona politik menjadi area dominasi para politikus semata. Hal ini terlihat sangat sedikit dokter yang terjun ke dunia politik.
Peter Von Oertzen dalam bukunya Uberlegungen zur Stellung der politik under den Sozialwissenschaften mengatakan bahwa politik adalah tindakan yang dijalankan menurut suatu rencana tertentu, yang terorganisir dan terarah yang secara tekun berusaha menghasilkan, mempertahankan atau mengubah susunan masyarakat. Peter mencoba untuk memahamkan sisi non kekuasaan dari politik, yang tentu berbeda dengan konsep politik Laswel dan Kaplan.
Apa yang dilakukan oleh Dokter Wahidin sangat jauh dari intrik politik, beliau lebih memfokuskan pandangannya terhadap kondisi masyarakat di tengah situasi yang tidak nyaman karena penjajahan.
Begitu pun yang dilakukan oleh Soetomo atau Soeradji, meski mereka akhirnya membentuk partai politik namun nama mereka jauh dari catatan intrik politik masa pra kemerdekaan. Politik benar-benar dijadikan sebagai fasilitator untuk mencapai tujuan saat itu yaitu Indonesia merdeka.
Mungkin berbeda dengan semangat atau gerakan politik saat ini di mana politik dijadikan objek dimana mereka-mereka yang melabeli dirinya sebagai politikus menjadi subjek. Namun bisa jadi ini hanya dipandang sebagai stigma.
Tidak sedikit juga mereka yang mengabdikan dirinya di dunia politik untuk kepentingan bangsa yang lebih besar. Namun pertanyaannya apakah gerakan politik itu hanya melalui partai politik. Menurut penulis, segala sesuatu yang melibatkan pengambilan keputusan yang dampaknya luas itulah politik.
Tahun 90an, seorang Menteri Agama yang berlatarbelakang dokter dapat mengambil keputusan untuk menggunakan dana bantuan dari Kerajaan Arab Saudi untuk mendirikan beberapa Rumah Sakit Haji di lima kota besar yang mayoritas pengelolaannya kemudian diserahkan kepada pemerintah provinsi.
Pasca reformasi, jabatan Jaksa Agung pernah dipegang oleh seorang yang berlatar belakang dokter, yaitu Marsilam Simanjuntak. Namun pada intinya bukan jabatan apa yang dipegang oleh dokter, namun semangat para dokter untuk tetap mendedikasikan dirinya bagi kemajuan bangsa, tidak hanya sibuk dalam rutinitas di ruang praktek belaka.
Penulis banyak kenal dokter-dokter yang juga sibuk dalam aktivitas sosial, aktivitas pendidikan, aktivitas budaya, aktivitas pengembangan ekonomi kecil. Nama-nama mereka mungkin tidak banyak disorot oleh kamera atau catatan media mainstream, tapi dedikasi mereka untuk perbaikan bangsa saat ini selayaknya mendapat apresiasi.
Semangat yang dimunculkan oleh para dokter seyogyanya lebih banyak dimunculkan oleh banyak profesi lain. Selain rutinitas aktivitas profesinya, namun dedikasi bagi bangsa melalui jalur apapun dapat dilakukan.
Mungkin bisa melalui aktivitas yang merupakan hobi atau minat diri masing-masing. Semangat dan dedikasi generasi di awal kebangkitan bangsa haruslah tetap menjadi contoh dan pelajaran berharga bagi generasi bangsa ini. “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang” - Sukarno.
Penulis: Mahesa Paranadipa Maikel (Staf Pengajar FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia dan Wakil Ketua MPPK Ikatan Dokter Indonesia).