Suara.com - “Punika satunggaling padamelan sae sarta nelakakenn budi utami” demikian yang disampaikan oleh Soetomo dalam percakapannya dengan Dokter Wahidin Soedirohoesodo menanggapi keinginan Wahidin mewartakan misinya mengumpulkan dana untuk pendidikan bagi rakyat jelata. Percakapan antara murid dan guru di sebuah sekolah kedokteran di zaman Belanda. Kata “budi utami” yang kemudian disambut oleh Soeradji menjadi usulan nama perkumpulan yang mereka gagas.
Semangat para pendiri Budi Utomo 113 tahun lalu yang mengalami konstruksi baru sebagai manusia baru yang merupakan konsekuensi dari pendidikan kolonial memang patut dijadikan panutan dan pelajaran bagi generasi-generasi bangsa ini.
Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai “Sang Revolusioner” tidak menampik adanya pengentalan Jawa dalam Budi Utomo, tapi beliau tetap menginginkan adanya agenda kemodernan demi martabat manusia di negeri yang sedang terjajah.
Tokoh revolusioner lainnya, Ki Hadjar Dewantoro termasuk bagian dari mereka-mereka yang tidak betah dengan misi kolot yang selalu disuarakan dalam perkembangan organisasi. Hal yang dari awal disuarakan Soeradji dengan mengusulkan semboyan Indie Vooruit (Hindia Maju) bukan Java Vooruit (Jawa Maju).
![Budi Utomo [Wikipedia]](https://media.suara.com/pictures/original/2017/05/20/29225-budi-utomo.jpg)
Selain diskursus Jawa di jalan kemodernan, diskursus yang lebih kental adalah terkait visi organisasi Budi Utomo, yaitu menghendaki adanya perbaikan sosial, meski di awal hanya menyebutkan kata Jawa dan Madura sehingga kata “kemerdekaan” belum disebut.
Namun usaha-usaha menuju visi tersebut yang disampaikan oleh Dokter Wahidin seperti memajukan pengajaran, peternakan, pertanian, perdagangan, teknik, industri dan menghidupkan kembali kebudayaan menjadi pondasi terbukanya semangat dan pemikiran revolusioner di kalangan terdidik terkait kemerdekaan.
Hal ini yang kemudian diantisipasi oleh penjajah Belanda sehingga menggiring Budi Utomo tidak masuk dalam pergerakan politik. Strategi penjajah Belanda antara lain mempengaruhi beberapa peserta Kongres Pertama Budi Utomo untuk mengarahkan hasil kongres antara lain organisasi tidak berpolitik, kegiatan organisasi hanya ditujukan pada bidang sosial-budaya-pendidikan, ruang gerak terbatas pada Jawa dan Madura, serta memiih Tirtokoesoemo (mantan Bupati Karanganyar) sebagai Ketua Budi Utomo Pusat.
Keinginan penjajah Belanda agar Budi Utomo tidak masuk dalam politik juga dilakukan melalui intimidasi melalui peraturan saat itu yaitu Regering Reglement pada Pasal 111 yang melarang mendirikan perkumpulan politik atau yang serupa dengan perkumpulan yang mengganggu ketentraman umum.
Kondisi organisasi yang jauh dari semangat nasionalisme awal ketika dideklarasikan menyebabkan beberap tokoh revolusioner gerah untuk membangkitkan kembali gairah itu. Seorang Indo-Belanda, Douwes Dekker berusaha menyadarkan dan memberikan pengertian akan “tanah air Indonesia”.
Baca Juga: Mendagri Sebut Tempat Masak di IPDN Kotornya Melebihi Toilet
Meski kemudian Douwes Dekker bergerak melalui organisasi Indische Partij yang kemudiaan diikuti berdirinya Sarekat Islam (SI). Budi Utomo sendiri baru bisa berkembang menjadi organisasi yang mempunyai tujuan Indonesia Merdeka pada tahun 1935 dengan meleburkan diri dengan Perhimpunan Bangsa Indonesia (PBI) yang didirikan Soetomo. Peleburan ini melahirkan Partai Indonesia Raya (Parindra).