Suara.com - Organisasi Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal 1442 Hijriah jatuh pada 13 Mei 2021 nanti. Namun organisasi Nahdlatul Ulama (NU) masih harus menunggu hasil Sidang Isbat yang akan digelar Kementerian Agama pada Selasa (11/5/2021) sore ini.
Mereka baru akan menentukan apakah Hari Raya Idulfitri jatuh pada Rabu, 12 Mei atau Kamis, 13 Mei 2021.
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dijadwalkan akan memimpin langsung sidang isbat yang akan dilaksanakan secara daring dan luring.
Hal ini dilakukan karena Indonesia masih dalam kondisi pandemi Covid-19, sehingga sidang isbat dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan.
Baca Juga: Tangan dan Selangkangan Luka Parah Kena Petasan, 2 Pria Meninggal Dunia
Sebelum sidang isbat digelar biasanya di beberapa wilayah, akan dilakukan rukyatul hilal (pengamatan bulan baru), yang hasilnya akan didiskusikan dan diputuskan dalam sidang ibat.
Tapi tahu kah ternyata rukyatul hilal bukan jadi satu-satunya cara menetapkan awal Syawal?
Membedah buku karya Muh. Hadi Bashori yang berjudul 'Penanggalan Islam' yang diterbitkan Elex Media Komputindo pada 2013, menyebutkan setidaknya ada 5 cara penentuan awal bulan dalam kalender Islam.
Apa saja? Berikut rangkumannya
1. Hisab atau perhitungan
Metode ini diadopsi organisasi keagaamaan Muhammadiyah, yang sejak dulu selalu menetapkan awal dan akhir bulan Islam berdasarkan perhitungan bulan atau hari. Menggunakan cara ini cenderung lebih mudah, karena itu artinya tidak perlu mengamati air laut, dan bentuk bulan di langit.
Baca Juga: Link Live Streaming Sidang Isbat Idul Fitri 1442 Hijriah Sore Ini
2. Mengamati bulan sabit
Metode inilah yang dilakukan pihak pemerintah, dan organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) sebelum sidang isbat hari ini.
Metode ini adalah aktivitas mengamati atau mengobservasi visibilitas hilal yaitu bulan sabit di kaki langit yang tampak pertama kali, setelah terjadinya ijtima pada waktu ghurub atau matahari terbenam menjelang pergantian bulan.
Aktivitas ini biasanya dilakukan dengan dengan mata telanjang, ataupun dengan bantuan alat optik untuk menetapkan jatuhnya awal bulan baru dalam penanggalan hijriah.
Apabila hilal berhasil dilihat, maka pada magrib tersebut sudah masuk pada bulan berikutnya, alias umat Islam sudah bisa menjalankan ibadah salat tarawih pada malam itu juga.
Akan tetapi apabila hilal tidak berhasil dilihat atau karena terhalang maka wajib menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari, artinya puasa dimulai lusa.
3. Hisab Imkan Rukyat
Metode ini dianggap sebagai jalan tengah antara pendapat hisab atau perhitungan dan rukyatul hilal (pengamatan hilal). Di mana setelah melihat hilal dalam batas angka minimum tertentu, baik dari perhitungan ataupun pengamatan, kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk angka-angka.
Sedangkan di Indonesia ada dua pendapat berbeda yang dipakai yakni pendapat kriteria imkan rukyat MABIMS (Majelis Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia) dan kriteria Thomas Djamaluddin. Adapun kriteria imkan rukyat MABIMS adalah :
- Pada saat matahari terbenam ketinggian bulan di atas cakrawala minimum 2 derajat dan sudut elongasi (jarak lengkung) bulan-matahari minimum 3 derajat.
- Atau pada saat bulan terbenam usia bulan minimum 8 jam dihitung sejak ijtimak (keluarnya bulan baru).
4. Melihat pasang surut air laut
Ini jadi salah satu metode unik dan menarik dalam penentuan awal bulan qamariyah, termasuk awal bulan Ramadhan yaitu dengan melihat fenomena pasang surut air laut.
Pasang surut air laut adalah gejala fisik berupa naik turunnya permukaan laut yang berulang dalam periode tertentu. Fenomena ini terjadi karena adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi.
Oleh karena itu, pasangnya air laut yang tertinggi adalah pasang air laut yang terjadi ketika terjadinya ijtimak atau bulan baru.
5. Perhitungan Jawa
Perhitungan ini juga dikenal dengan istilah hisab aboge, perhitungan ini merupakan sistem perhitungan pertama kali yang digunakan di Indonesia ini karena adanya upaya interelasi agama Islam dengan budaya Jawa.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di pulau Jawa pernah berlaku sistem kalender hindu, yaitu sistem kalender berdasarkan peredaran matahari mengelilingi bumi.
Permulaan tahun saka ini bertepatan dengan 1 tahun setelah pengobatan Prabu Syaliwahono (Aji Soko) sebagai raja India. itulah kemudian kalender Hindu lebih dikenal sebagai kalender Saka.
Tapi sejak masuknya islam, kalender Saka dipadukan dengan kalender hijriyah. Metode aboge dalam menetapkan bulan Ramadhan masih digunakan oleh mayoritas penganut kalender Jawa Islam (kejawen).
Keadaan ini membuat perhitungan awal ramadhan sering berbeda dalam penetapan awal bulan dengan pemerintah maupun ormas Islam lainnya.