Identik dengan RA Kartini, Ini 6 Fakta Menarik Asal Usul Busana Kebaya

Rabu, 21 April 2021 | 12:29 WIB
Identik dengan RA Kartini, Ini 6 Fakta Menarik Asal Usul Busana Kebaya
RA Kartini. (Istimewa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Selain perjuangan emansipasinya, Hari Kartini yang jatuh setiap 21 April juga sangat identik dengan kebaya. Pakaian tradisional ini memang biasa digunakan oleh R.A Kartini dalam kesehariannya.

Di zaman modern seperti sekarang, kebaya masih sangat sering dikenakan perempuan Indonesia. Bertahan hingga berkembang dalam beragam jenis dan model, ternyata masih banyak yang tak tahu mengenai sejarah kebaya lebih dalam.

Untuk mengetahui sejarah dan fakta menarik lainnya mengenai kebaya, simak yuk daftarnya berikut ini, yang Suara.com rangkum dari berbagai sumber.

Cantiknya Aurel Hermansyah Berbalut Kebaya Pernikahan Bertema The Princess Diary. (Dok: Instagram/Vera Kebaya)
Ilustrasi: Aurel Hermansyah Berbalut Kebaya Pernikahan Bertema The Princess Diary. (Dok: Instagram/Vera Kebaya)

1. Sejarah Kebaya
Ada banyak spekulasi tentang asal usul kebaya. Ada beberapa yang mengatakan kebaya berasal dari Timur Tengah, sementara yang lain berpendapat bahwa kebaya juga mungkin berasal dari China.

Baca Juga: Hari Kartini 2021, Ternyata 4 Sajian Ini Dulu Digemari Sang Pendekar Wanita

Kebaya berasal dari kata Arab "kaba" yang berarti "pakaian" dan diperkenalkan ke Indonesia melalui bahasa Portugis. Istilah kebaya telah merujuk pada pakaian yang aslinya tampak seperti blus.

Banyak sumber juga mengutip pengaruh China pada pakaian pada masa itu, satu sumber membandingkan kebaya dengan tunik lengan panjang dengan bagian depan terbuka yang dikenakan oleh perempuan Dinasti Ming.

Jadi, pengenalan kebaya diakreditasi untuk dua kejadian besar, yakni pengaruh yang muncul dari Islam dan kedatangan orang Eropa ke Nusantara. Penyebaran cepat penggunaan kebaya ini juga terkait dengan perdagangan rempah-rempah yang terjadi selama ini dalam sejarah.

2. Pertama kali dipakai di Indonesia selama abad ke-15 dan ke-16

Ratusan perempuan dari Komunitas Perempuan Berkebaya menggelar kegiatan "1000 Perempuan Berkebaya" di Jakarta, Jumat (3/3).
Ilustrasi: Ratusan perempuan dari Komunitas Perempuan Berkebaya menggelar kegiatan "1000 Perempuan Berkebaya" di Jakarta, Jumat (3/3).

Diketahui, kebaya pertama kali digunakan di Indonesia pada beberapa waktu selama abad ke-15 dan ke-16. Pakaian ini mirip dengan apa yang dideskripsikan sebagai blus panjang, pas, berkobar yang dikenal sebagai kebaya panjang.

Baca Juga: Hari Kartini 21 April, Ini Kata Mutiara RA Kartini untuk Disebar via WA

Pada abad ke-16 oleh perempuan Portugis yang tiba di pantai barat daya Malaysia, terletak di seberang Selat Malaka dari Sumatera atau di barat laut Indonesia juga terlihat mengenakannya.

3. Desain kebaya terus berkembang
Setelah penjajahan Belanda, kebaya mengambil peran baru sebagai pakaian formal bagi perempuan Eropa di negara tersebut. Selama ini kebaya sebagian besar dibuat dari kain mori. Modifikasi yang dilakukan pada kostum tradisional ini kemudian memperkenalkan penggunaan sutra dan bordir untuk menambah desain dan warna.

Menteri Susi Pudjiastuti dalam balutan kebaya moderen. (Instagram/@susipudjiastuti115)
Ilustrasi: Mantan Menteri Susi Pudjiastuti dalam balutan kebaya moderen. (Instagram/@susipudjiastuti115)

Bentuk paling dominan dari kebaya yang dikenakan di pulau Jawa dan Bali saat ini, dapat dilihat dari kebaya yang dikenakan di Jawa dan Sunda dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dan seterusnya.

4. Mencerminkan identitas bangsa
Mengingat perubahan sejarah - politik dan sosial yang sangat besar yang terjadi di Indonesia selama satu abad terakhir, bentuk kebaya relatif tidak berubah. Akan tetapi, fungsi dan maknanya, telah mengalami perubahan besar pada masa kolonial dan pasca-kolonial.

Sejumlah perempuan yang tergabung dalam Gerakan Nasional #SelasaBerkebaya melakukan kampanye berkebaya di Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Selasa (25/6). ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Ilustrasi: sejumlah perempuan yang tergabung dalam Gerakan Nasional #SelasaBerkebaya melakukan kampanye berkebaya di Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Selasa (25/6). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Kebaya bahkan telah menjadi simbol emansipasi perempuan di Indonesia melalui representasi yang menghubungkan kebaya dengan sosok "proto-feminis" abad ke-19 Raden A. Kartini. Selama abad ke-19, dan sebelum gerakan Nasionalis di awal abad ke-20, kebaya telah dinikmati oleh wanita Indonesia, Eurasia, dan Eropa, dengan sedikit variasi gaya.

5. Pembeda kelas dan status sosial
Pada waktu tersebut, kebaya menjadi pembeda kelas dan status sosial. Kebaya bangsawan Jawa terbuat dari sutra, beludru dan brokat. Sedangkan perempuam Jawa yang termasuk kelas biasa mengenakan katun berpola.

Kebaya Encim. (Dok: Instagram/Kebaya_Inspiration)
Kebaya Encim. (Dok: Instagram/Kebaya_Inspiration)

Serta kebaya yang dikenakan oleh perpuam Eurasia terbuat dari katun putih yang dipangkas dengan renda Eropa buatan tangan pada siang hari, dan dari mereka mengemakan kebaua sutra hitam pada malam hari. Sedangkan perempuan Belanda lebih menyukai kebaya putih yang lebih pendek.

6. Muncul sebagai busana nasional
Pada tahun 1920-an, seiring dengan kemunculan perjuangan nasionalis di Indonesia, perempuan Eropa berhenti mengenakan kebaya, karena pakaian ini mulai diidentikkan dengan pakaian khas Indonesia. Bagi penjajah Eropa, Kebaya telah dikaitkan dengan nasionalisme Indonesia.

Selama masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), para tawanan perang perempuan Indonesia yang berpendidikan memilih untuk mengenakan kain dan kebaya daripada pakaian barat yang dialokasikan untuk mereka sebagai pakaian penjara.

Niki Pakai Kebaya (Twitter/Niki)
Ilustrasi: Niki Pakai Kebaya (Twitter/Niki)

Seperangkat kondisi politik yang berbeda menghasilkan pembalikan makna. Dalam situasi ini para perempuan menggunakan kode budaya (pakaian tradisional) untuk menegaskan posisi politik mereka, yang membedakan diri mereka dari peremluam Eropa mereka yang juga tawanan perang.

Pada Proklamasi Kemerdekaan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1945, satu-satunya perempuan yang hadir, Ibu Trimutri mengenakan kain dan kebaya. Citra ini membantu mengubah kebaya dari sekedar pakaian tradisional, mengangkatnya menjadi status pakaian nasional bagi perempuan Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI