Suara.com - Kondisi Pandemi Covid-19 tidak menyurutkan potensi kemungkinan terjadinya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Bahkan selama 2020, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta menerima 307 kasus terkait KBGO.
Koordinator Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta Uli Arta Pangaribuan mengatakan, ratusan kasus tersebut terdiri dari macam-macam kekerasan. Mulai dari ancaman distribusi (112 kasus), konten ilegal (66 kasus), upaya pemberdayaan korban (33 kasus), pelecehan seksual online (47 kasus), pencemaran nama baik (15 kasus), pelanggaran privasi (2 kasus), penguntitan online (17 kasus), dan pengelabuan (1 kasus).
"Jadi tahun 2020 berdasarkan catatan LBH APIK Jakarta, kasus KBGO itu menjadi kasus kedua tertinggi setelah kekerasan dalam rumah tangga," kata Uli dalam webinar daring ICJR, Selasa (20/4/2021).
Meski korban kekerasan itu berani mencari bantuan, namun menurut Uli, kebanyakan proses hukum sangat sulit untuk dilaporkan ke polisi.
Baca Juga: Kekerasan Jurnalis Nurhadi, Polisi Diminta Usut Peran Kombes Achmad Yani
Sehingga kebanyakan korban penyelesaiannya diminta secara non itigasi. Ada sebanyak 115 kasus diupayakan untuk mediasi antara pelaku dan korban, 25 kasus somasi, 25 kasus dimintai surat dukungan kepada jaringan lain, hingga merujuk ke layanan psikolog.
"Beberapa korban merasa terancam, takut sehingga butuh kekuatan psikologis, ada 95 kasus," ucapnya.
Sayangnya, dari 307 kasus sepanjang 2020 yang dicatat LBH APIK, hanya 5 kasus yang bisa dilaporkan ke kepolisian. Dua di antaanya sudah sampai di kejaksaan dan hanya satu kasus KBGO sampai proses persidangan.
Menurut Uli, sedikitnya kasus yang bisa masuk ke kepolisoan lantaran ada kekhawatiran dari korban jika melapor justru ada kemungkinan akan dilaporkan balik.
"Jadi memang ini membuat korban agak khawatir malah takut unyuk melaporkan kasus. Karena tidak hanya dilaporkan dengan UU ITE tapi juga dilaporkan dengan UU pornografi," ucapnya.
Baca Juga: Gara-Gara Infus, Heboh Perawat Dijambak dan Ditendang Orang Tua Pasien
Ia menjabarkan, paling tidak ada enam kendala dalam penanganan kasus KBGO:
1. Minimnya alat bukti dengan pola kasus yang rumit
"Jadi kalau ketika ingin melaporkan kasus, tapi HP (korban) sudah gak bisa aktif lagi atau HP hilang. Dan bukti yang ada di HP itu jadi gak bisa kembali lagi. Ada beberapa korban juga, karena khawatir dan takut langsung menghapus semua terkait alat bukti. Karena takut ada ancaman, intimidasi. Sehingga buat kami kesulitan melengkapi pelaporan di polisi," jelas Uli.
2. Menentuan yuridiksi tempat
"Ini agak sulit karena beberapa kasus tidak tahu posisi pelaku saat melakukan ancaman. Saat kita melakukan pelaporan ke Mabes (Polri), ternyata itu juga tidak diterima karena sudah ada aturan sendiri. Jadi harus ada kerugian berapa miliyar, atau kalau misal korban publik figur atau pejabat. Kalau kita orang biasa gak ada kesempatan melapor ke Mabes. Kita diarahkan ke Polda Metro. Karena kita harus tahu persis posisi pelaku," terangnya.
3. Ahli terbatas untuk menangani KBGO
"Ketika proses berjalan di polisi dan diminta saksi ahli untuk perkuat laporan korban, kita kesulitan siapa ahli yang mau menangani kasus ini yang memang tidak berbayar semahal yang provit," ujarnya.
4. Forensik yang lengkap hanya di Polda Metro Jaya (PMJ)
"Kalau wilayah di Polsek, Polres, kita beberapa kasus dilimpahkan di sana, prosesnya cukup panjang. Karena harus dilimpahkan dulu ke PMJ terkait bukti digital. Jadi memang untuk kasus KBGO hampir rata-rata (proses hukum) di atas 1 tahun.
5. Korban ketakutan dan pelaku tidak dikenal
"Rata-rata korban yang datang ke LBH APIK, dia tidak kenal dengan pelaku jadi kenal di sosmed. Lalu ada upaya bujuk rayu dari pelaku, kemudian korban mau mengirimkan foto. Setelah dikirimkan dengan syarat bahwa dia tidak akan menyebarkan, itu hanya konsumsi pribadi, ternyata itu dipakai pelaku untuk mengancam balik korban untuk meminta sesuatu dari korban, baik lakukan hubungan seksual, pemerasan, atau ancaman. Bahkan ketika menanyakan apakah pasti itu akun pelaku juga dia (korban) tidak bisa memastikan," paparnya.
6. Dalam kasus KBGO sidang masih dilakukan secara terbuka
"Padahal pasal yang dikenakan kesusilaan. Jadi kemungkinan juga ketika ada pertanyaan hakim, jaksa, maupun pengacara, yang sangat sensitif, itu membuat korban tidak nyaman memberikan keterangan," ujar Uli.