Suara.com - Selain dikenal dengan hasil laut yang melimpah, Indonesia juga didaulat sebagai salah satu negara agraris yang sangat luas.
Pada tahun 2019, Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) merilis luas baku tanah sawah di Indonesia yaitu 7,46 juta hektar.
Fakta tersebut membuat keberadaan petani menjadi penting dan vital, karena sangat berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Itu juga yang kini disadari oleh dua saudara, Steven dan Freddy Wijaya.
Ditemui Suara.com beberapa waktu lalu, Steven dan Freddy memamerkan beberapa hasil tani yang ditanam di laboratorium pertanian mereka di Kebun Organik DINO, yang terketak di kawasan Cikeas, Gunung Putri, Kabupaten Bogor.
Baca Juga: Lebih Dekat dengan Tanaman Porang, Si Umbi Tunggal Bahan Baku Shirataki
Beberapa di antaranya adalah hasil bumi seperti singkong, porang, daun sawi, hingga cabai yang beberapa waktu terakhir harganya tinggi tidak keruan.
Keduanya memang bukan petani muda, melainkan dua orang yang berkecimpung dalam bisnis pupuk hayati dengan merek dagang pupuk Hayati Dinosaurus.
Terinspirasi dari Membantu Petani NTT
Steven dan Freddy bercerita, awalnya mereka datang dengan misi memberdayakan petani di wilayah Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Pupuk hayati kemudian diproduksi untuk memperbaiki kondisi lahan yang rusak dan tidak produktif, agar dapat meningkatkan hasil panen para petani di sana.
"Tidak dipungkiri lahan kritis jadi masalah pertanian kita saat ini," kata Freddy.
Tidak memiliki latar belakang ilmu pertanian, keduanya lalu menggandeng seorang akademisi berlatar belakang Ilmu Teknik dari Universitas Gadjah Mada, yang mereka panggil sebagai Pak Muji. Pak Muji inilah yang kemudian didaulat menyusun komposisi pupuk hayati Dinosaurus.
Baca Juga: Pupuk Indonesia Raih Best Corporate dan Best CEO BUMN
Kini pupuk Dinosaurus kini telah digunakan di beberapa demplot atau demonstration plots (lahan percobaan) di berbagai daerah di Indonesia seperti Bogor, Cianjur, Indramayu, Situbondo hingga ke Tungkaran Banjar di Kalimantan Selatan.
"Hasil panen kita pernah sampai 43 kg per batang pohon singkong dengan rentang waktu empat sampai sembilan bulan," tambah Freddy.
Kata Freddy, ada perbedaan mendasar antara pupuk organik dengan pupuk hayati. Pupuk organik misalnua, lebih mengandung unsur hara NPK (Nitrogen, Phosphate dan Kalium) yang diekstrak dari bahan-bahan organik.
Sementara pupuk hayati mengedepankan kandungan mikroba dan jenis bakteri. "Bakteri ini yang kemudian berperan penting dan dapat membedakan antara pupuk organik dengan pupuk hayati," tambah Freddy.
Cara Kerja Pupuk Hayati
Freddy bercerita, pada dasarnya pupuk hayati yang ia produksi dikembangkan dari mikroba alami tanah berupa bakteri baik yang kemudian dapat bekerja dan bersimbiosis dengan tanaman. Beberapa jenis bakteri yang digunakan di antaranya Streptomyeces sp., Azotobacter sp., Lactobacillus sp., dan Bacillus thuringensis.
"Bakteri ini yang berperan penting menyuburkan kembali tanah dan mendukung pertumbuhan tanaman juga," ujar Freddy.
Pupuk hayati ini bisa digunakan untuk semua jenis tanaman mulai dari jenis pertanian, umbi-umbian, pohon buah, pohon hias hingga tanaman perkebunan.
Meski mengedepankan prinsip pertanian berkelajutan lewat produk organik dan hayati, Freddy sadar bahwa petani konvensional masih sangat bergantung dengan pupuk kimia bahkan peptisida untuk mengusir hama.
Untuk itu, pupuk hayati Dinosaurus dibuat untuk menyeimbangkan penggunaan peptisida dan pupuk kimia berlebihan yang terbukti dapat merusak lahan dan mengancam hasil pertanian di kemudian hari.
"Hadirnya pupuk hayati ini membantu proses penyerapan pupuk kimia dengan pupuk kandang ini lebih optimal lagi. Pupuk hayati juga bisa mengolah tanah, memecah mineral jadi tanah lebih siap diserap dan lebih efisien, termasuk dengan pupuk kandang."
"Jadi pupuk kita tidak bisa berdiri sendiri, apalagi dengan kondisi tanah sekarang banyak yang kritis. Tapi kalau didukung pupuk kandang, kimia juga ada, itu akan sangat membantu perbaikan," tambah Freddy.
Belajar Banyak dari Petani
Selagi melakukan kegiatan sosial dan memperkenalkan pupuk hayati ke banyak petani di Indonesia, Steven dan Freddy menyadari luhurnya budaya bercocok tanam di beberapa wilayah di Indonesia.
Banyak berpetualang ke daerah membuat Steven dan Freddy sedikit banyak belajar sistem pertanian berkelanjutan. Apa yang keduanya pelajari, kini mulai dipraktikkan di Kebun Organik DINO Cikeas. Salah satunya cara mengurangi hama di lahan pertanian. Kata Freddy, dibanding membunuh hama, ia lebih memilih metode mengurangi hama dengan cara mengalihkan perhatian mereka.
"kami tidak membunuh hama tapi mengurangi dampak hama dengan cara mengibangi ekosistem. Tidak menanam satu jenis tanaman dan juga menanam refugia, atau bunga-bunga yang bagus, yang dapat mengalihkan serangga baik dan serangga jahat."
Dengan begitu, lanjutnya, akan ada proses penyerbukan tanaman dan mnajdi rumah bagi serangga predator hama, yang kemudian membantu ekosistem tetap terjaga.
Itu juga dianggap selaras dengan budaya meninggalkan atau menyisakan hasil panen yang dilakukan banyak petani guna diberikan kembali kepada alam. "Saya manemukan budaya ini di petani di Jawa, di Bali dan bahkan di Kalimantan. Ada mindset memberi di sana, berbagi kembali ke alam," kata Freddy.
Ia juga sadar bagaimana yang ia lakukan hanya sebagian kecil dari proses alami kehidupan, di mana semua usaha yang dilakukan akan tetap tergantung dengan kuasa Tuhan YME.
"Saya baru masuk dari segi pupuk. Sementara petani sudah menyentuh banyak hal. Ini salah satu bagian kecil yang harus kita kerjakan semaksimal mungkin dan sebaik mungkin demi petani. Usaha kita hanya sebagian kecil proses ke alam, yang menumbuhkan tetap Yang Maha Kuasa," tandasnya.