Tak Selalu Jadi Beban, Generasi Sandwich Juga Dianggap Tanggung Jawab

Selasa, 13 April 2021 | 16:55 WIB
Tak Selalu Jadi Beban, Generasi Sandwich Juga Dianggap Tanggung Jawab
Generasi sandwich. (Dok: Elements Envanto)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Banyak orang yang tanpa sadar berada dalam posisi generasi sandwich. Mereka terhimpit memenuhi kebutuhan orang terdekatnya baik itu anak maupun orangtua.

Tetapi, apakah generasi sandwhich itu beban?  Hal itu coba diungkap oleh penulis buku bernama Astrid Savitri. 

“Saya punya beberapa teman yang berada di posisi terhimpit, bukan beban ya, tapi bertanggung jawab membantu keluarga sekaligus anak-anaknya. Kebetulan saya tidak ada di posisi ini, karena keluarga besar saya sudah menyiapkan dana pensiun sejak lama,” ungkapnya dalam webinar How To Avoid Sandwich Generation, Selasa (13/4/2021).

Beban yang dirasakan oleh generasi sandwhich tidak hanya finasial saja, tetapi juga stres dan juga emosional. Karena itu, ia mengungkap secara penuh lewat bukunya yang akan terbit akhir Mei nanti, berjudul Sandwich Generation (Seni Beradaptasi Dalam Impitan Multi-Generasi).

Baca Juga: Cegah Burnout, 5 Hal yang Bisa Kamu Lakukan saat Beban Kerja Berlebih

Generasi sandwich. (Dok: Elements Envanto)
Generasi sandwich. (Dok: Elements Envanto)

“Generasi sandwhich mungkin baru dengar beberapa tahun terakhir ya, tapi pencetus pertamanya itu dari Dorothy Miller. Dia mengungkapkan, di tahun 80 banyak orang Amerika yang menjadi generasi tersebut. Rata-rata umurnya sekitar 35-60 tahun. Mereka harus menyokong kebutuhan orang tuanya dan menyokong anak-anaknya di usia delapan belas tahun ke bawah,” paparnya.

Ia mengatakan, mereka menganggap memenuhi kebutuhan orang tuanya sama pentingnya dengan tanggung jawab membiayai anak-anaknya.

“Sementara di Indonesia, sebenarnya itu bukan merasa himpitan. Karena ada tanggung jawab moral dan juga budaya. Jadi kebersamaan itu penting banget, tidak hanya orang tua, tapi juga kakeknya, bude pakde, bahkan keponakan,” ungkap Astrid Savitri.

Astrid Savitri juga membagikan karakteristik generasi sandwhich. Salah satunya traditional sandwich, club sandwhich A, club sandwhich B, dan open faced sandwich.

Pada tradisional sandwhich, ia mengatakan adanya kebutuhan yang terhimpit dengan kebutuhan orang tua, sekaligus membiayai sekolah anak.

Baca Juga: Jawab Prasetio, Wagub DKI Juga Minta DPRD Tanggung Jawab Soal Korupsi Yoory

Sedangkan club sandwich A, adanya terhimpit dengan kewajiban membiayai orang tuanya, anak-anaknya, dan juga cucu-cucunya.

Sementara itu, club sandwich B adanya kebutuhan yang terhimpit kewajiban membiayai anak-anaknya yang masih kecil, sekaligus orang tua dan kakek-neneknya.

Dan terakhir open faced sandwich, yakni adanya profesi yang bertugas merawat orang berusia lansia.

“Jadi generasi sandwhich itu nggak buruk, kita harus bersyukur kalau bisa membantu orang tua. Yang sulit itu, kalau kita tidak mengelola stres dan finansial dengan baik,” tutupnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI