Suara.com - Mendengar nama Suku Sakai, banyak orang mungkin beranggapan bahwa mereka adalah suku tertinggal dan terasing. Namun, cap yang demikian justru yang coba dibongkar oleh salah satu suku tertua di Sumatera ini.
"Kami tolak cap sebagai Suku Terasing, sebab masyarakat Sakai sudah banyak yang maju, bahkan menjadi anggota DPRD Bengkalis, Riau, jadi pengusaha, penerima beasiswa dari perusahaan, dan banyak yang menjadi sarjana," kata Ketua Majelis Kerapatan Adat Batin, Limo Mineh, Riau, Tarmizi L dalam keterangan yang diterima Suara.com, Kamis, (8/4/2021).
Lewat film "Mimpi Anak Sakai Riau" besutan Forum Jurnalis Kreatif Riau, mereka berusaha memberi gambaran bahwa masyarakat Sakai tidak lagi ingin dicap sebagai suku terasing atau terisolasi.
Jika merunut ke belakang, Sakai sendiri merupakan salah satu suku yang mendiami kawasan pedalaman Riau di Pulau Sumatera.
Baca Juga: Geger! Asap Diduga Gas Muncul di Sipirok, Personel Brimob Turun Tangan
Dikutip dari Indonesia Kaya, nenek moyang Suku Sakai diyakini berasal dari Pagaruyung, sebuah kerajaan Melayu yang pernah ada di Sumatera Barat.
Dahulu, Suku Sakai memiliki pola kehidupan yang masih nomaden, berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain.
"Penolakan cap Suku Terasing itu diapungkan lebih karena bantuan untuk masyarakat Sakai sering datang terlambat, dan karena alasan lainnya," katanya.
"Kami ingin lebih ingin mendapatkan keadilan bekerja di bidang apa saja, karena anak-anak Sakai kini tidak lagi buta huruf," kata Tarmizi lagi.
Dekan Fakultas Komunikasi UMRI, Jayus menyampaikan siap untuk bermitra dengan Forum Jurnalis Kreatif Riau untuk membuat film lainnya dan membantu memproduksi satu film lagi untuk mendorong terhapusnya secara bertahap cap terisolasinya masyarakat Sakai sebagai Suku terasing itu.
Baca Juga: TNI AL Amankan 36 Pekerja Migran Akan Diselundupkan ke Malaysia
"Tentunya kita perlu melakukan riset serta menayangkan film dokumenter itu pada berbagai kesempatan didukung oleh jejaring sosial yang dimiliki UMRI terkait edukasi tentang masyarakat Sakai itu kini sudah seperti apa dan tidak terisolasi lagi," katanya.
Selain itu, para pembedah dari kalangan akademisi seperti Yanuardi Syukur Dosen Studi Antropologi Sosial Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate berpendapat bahwa Suku Sakai harus meninggalkan stigma terasing, karena dengan stigma itu justru berdampak "diskriminatif".
Karenanya film ini sebagai karya anak bangsa perlu dikembangkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Suku terasing itu agar tidak lagi dipandang sebelah mata. Dan untuk mewujudkan ini perlu kolaborasi semua pihak terkait untuk meningkatkan ekonomi mereka, pendidikan, kesehatan dan lainnya.
"Mimpi komunitas Komunitas Adat Terasing (KAT) atau Suku Sakai optimistis terwujud, sebagai bayangan yang ingin dicapai," katanya.
Dr Iya Setyasih Dekan Fakultas Ilmu Ekonomi Sosial Universitas Mulawarman, mengatakan, bahwa dibutuhkan sinergisitas antara pemerintah daerah dengan perusahaan setempat dalam mendorong percepatan Suku Sakai menjadi masyarakat yang berkemajuan dan secara bertahap akan hilang cap terasing itu.
"Perusahaan memiliki program CSR sehingga diharapkan dapat berkontribusi membiayai peningkatan kualitas pendidikan SDM, dan ekonomi masyarakat guna mendorong percepatan suku itu keluar dari cap terasingnya lagi," katanya.
Romi Mesra Dosen Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Manado mengatakan, Film Mimpi Anak Sakai secara garis besar orang Sakai asli bicara, dan itu merupakan fakta di lapangan, ada wawancara dan penelusuran lainnya.
Akan tetapi, ketika dibaca digoogle, ternyata masih tercatat terasing, yang seharusnya sumber-sumber informasi tentang Sakai harus diperbaharui lagi.
"Untuk mencapai perubahan itu, diperlukan peran investor, khususnya dari perusahaan yang beroperasi di sekitar permukiman Suku Sakai selain itu, fakta di lapangan harus diperhatikan kembali," katanya.