Suara.com - Acara diskusi Women Lead Forum 2021 yang diadakan media daring Magdalene dan IBCWE (Indonesia Business Coalition for Women Empowermoment) kembali digelar pada Kamis (8/4/2021).
Pada diskusi panel ketiga tersebut, Women Lead Forum 2021 membahas isu mengenai kesetaraan gender di dalam media. Total, ada tiga narasumber yang diundang untuk membahas topik "Normalisasi Kesetaraan Gender lewat Media".
Ketiga pembicara yang diundang adalah Devi Asmarani selaku Editor In Chief Magdalene, Uni Lubis selaku Chief Editor IDNTimes, serta Direktur Pemberitaan Media Group yaitu Usman Kasong.
Lewat bincang-bincang tersebut, disampaikan bahwa suara perempuan dalam media masih sedikit. Mengutip data Global Media Monitoring Project, baru ada 24% suara perempuan.
Baca Juga: Bangun 2 Masjid, Citra Insani Ingin Perempuan Indonesia Berani Berbisnis
Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu dari sisi kecepatan membuat konten serta dari narasumber sendiri.
Menurut Chief Editor IDNTimes Uni Lubis, reporter cenderung mengambil narasumber yang sudah ada demi kecepatan membuat konten. Namun, mayoritas narasumber yang tersedia adalah laki-laki.
Sementara dari sisi narasumber, Uni Lubis berpendapat bahwa masih banyak lembaga yang tidak menempatkan perempuan di posisi untuk diwawancarai atau posisi atasan.
Tidak hanya masalah narasumber, ada pula masalah under representation perempuan dalam media. Bukan hanya media massa, hal ini juga berlaku bagi media seperti film, iklan, hingga game.
"Ada juga representasi buruk soal perempuan, masih mengobjektifikasi, menseksualisasi perempuan. Perempuan masih digambarkan lewat male gaze atau perspektif maskulin," jelas Editor in Chief Magdalene, Devi Asmarani.
Baca Juga: Bukan Cuma Mimpi, Ini Cara Nyata Wujudkan Kebijakan Kantor Dukung Perempuan
Hal tersebut diperkuat oleh Direktur Pemberitaan Media Group, Usman Kasong. Lewat pengalaman pribadi, Usman Kasong mengungkap jika reporter hingga pimpinan di media masih kurang literasi gender.
Kurangnya pemahaman soal gender ini juga terjadi di kalangan reporter hingga pimpinan perempuan. Oleh karenanya, adanya dialog serta diskusi internal soal perspektif gender menjadi penting dilakukan.
Meski begitu, media bukan satu-satunya yang harus bertindak untuk mengatasi masalah kurangnya suara perempuan hingga objektifikasi perempuan.
Dari sisi narasumber hingga jabatan pimpinan di media, kesempatan untuk perempuan harus dibuka. Namun, pihak perempuan sendiri juga harus mau mengambil kesempatan.
Selain itu, Uni Lubis mengungkap pentingnya ekosistem yang mendukung, baik di rumah maupun kantor, agar perempuan bisa menduduki jenjang karir lebih tinggi.
Sementara bicara soal objektifikasi perempuan, baik media maupun konsumen harus sama-sama bertindak untuk membawa perubahan.
"Untuk menyelesaikan masalah, tidak bisa hanya menyasar media. Ada juga yang perlu diperkuat, yaitu konsumen media. Dengan menguatkan sisi konsumen, akan ada tuntutan kepada media untuk lebih memperbaiki cara menggambarkan perempuan," ungkap Devi Asmarani.
Tak lupa, lembaga seperti Dewan Pers hingga KPI juga seharusnya turut berperan. Sebagai contoh, Usman Kasong menyebut jika pengawasan KPI saat ini belum mencakup perspektif gender. Alih-alih, KPI malah melarang dan menyensor hal-hal seperti baju renang saat loncat indah.
Untuk itu, lembaga seperti KPI hingga Dewan Pers masih perlu berbenah serta bersikap lebih proaktif dalam menyelesaikan pelanggaran kesetaraan gender yang selama ini ada di media massa.