Suara.com - Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mengatakan jika mayoritas masyarakat yang mengajukan dispensasi nikah usia anak, berasal dari keluarga berpendidikan rendah.
"Rata-rata perkara dispensasi nikah atau perkawinan di bawah umur ini rata-rata diajukan oleh masyarakat yang kurang pendidikan," ujar Nur Djannah Syaf, S.H.,M.H Direktur Pembinaan Administrasi Praperadilan Agama, Badilag MA, Senin (15/2/2021).
Bahkan jika di kota besar minimal anak harus lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat, di daerah pedalaman atau pelosok, anak yang sudah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), orangtua akan merasa bangga saat anaknya sudah menikah.
"Khususnys di Sulawesi, yang mana ada budaya kalau anaknya sudah tamat SD atau SMP, dia merasa ada kebanggaan kalau anaknya sudah menikah," ujar Nur Djannah.
Baca Juga: Perkawinan Anak, Perempuan Ini Sudah Punya 8 Orang Anak
Di sinilah pemerintah dan elemen masyarakat harus mengintervensi dengan edukasi, atau aturan daerah mewajibkan pendidikan untuk masyarakat, tujuannya untuk mencegah pernikahan usia anak.
Sementara itu berdasarkan data yang yang diperolah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sejak 2017 hingga 2019, terjadi rata-rata pernikahan usia anak di Indonesia berkisar 10 hingga 11 persen.
Ini artinya 10 dari 100 anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Tiga provinsi dengan kasus pernikahan usia anak tertinggi di antaranya adalah Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, dan Jawa Tengah.
Sementara itu, jika sebelumnya batas usia menikah perempuan 16 tahun dan lelaki 19 tahun. Kini aturan diperbaharui, lelaki dan perempuan bisa menikah ketika sama-sama sudah melewati usia 19 tahun. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan No 16 Tahun 2019.
Baca Juga: Pengamat: Sekolah Ditutup Tingkatkan Angka Perkawinan Anak