Suara.com - Menurut analisa Nature Climate Change, karantina global yang terjadi untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19 membuat produksi emisi karbon di dunia mengalami penurunan.
Untuk itu pakar menilai bahwa saat ini adalah momentum yang tepat mengembangkan energi bersih salah satunya lewat penggunaan energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Hal tersebut dituturkan oleh pakar komunikasi hijau Wimar Witoelar. Katanya, pandemi bisa menjadi momentum transisi penggunaan energi terbarukan yang lebih masif.
"Pengembangan energi terbarukan seperti PLTA memiliki banyak nilai positif. Antara lain, mendukung pemulihan ekonomi dunia akibat dampak pandemi dengan ekonomi hijau, dan mempercepat transisi ke energi bersih untuk mengurangi emisi karbon," jelas Wimar melalui siaran tertulis yang diterima Suara.com baru-baru ini.
Apalagi, Indonesia dianggap memiliki potensi energi terbarukan yang besar mencapai 442 GW, dengan salah satunya berupa energi air mencapai 75 ribu MW. Salah satu upaya pemanfaatan energi terbarukan di program strategis nasional adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru berkapasitas 510 MW di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Di sisi lain, kajian International Hydropower Association (IHA) menunjukkan bahwa PLTA menjadi produsen energi yang memiliki ketahanan tinggi di tengah pandemi Covid-19.
PLTA juga memainkan peran penting menyediakan energi bersih dan terjangkau dalam krisis pandemi yang sekarang melanda dunia serta bisa menjadi solusi penanganan perubahan iklim.
Baru-baru ini Ketua Asosiasi Pengembang PLTA Riza Husni juga mengatakan jika potensi energi terbarukan dari hidro di Indonesia memiliki daya minimal 75 giga watt.
"Skala kecil, di mana investasinya bisa dilakukan perusahaan dalam negeri/ nasional/ daerah/ itu setidaknya bisa 7 Giga Watt. Namun setelah 16 tahun dijalankan, cuma terbangun kurang 0,4 giga watt," ungkapnya.
Baca Juga: Acara HRS Dikaitkan UU Kekarantinaan, Tengku Minta Tolong Yusril Jelaskan
Energi terbarukan hidro sebenarnya sudah murah, kata dia. Sayangnya metode tersebut dianggap kurang menguntungkan bila dibandingkan energi batubara yang dinilai masih lebih murah.