Suara.com - Keuangan menjadi aspek penting dalam keluarga. Hal tersebut diamini oleh Psikolog keluarga Anna Surti Ariani. Dijelaskan psikolog yang biasa dipanggil Nina ini, semua masalah di keluarga bisa selalu berujung pada masalah keuangan.
Apalagi di era pandemi seperti ini. Bila ada anggota keluarga yang memiliki penyakit kronis, sektor keuangan pasti akan terdampak akibat biaya ekstra ke rumah sakit atau melakukan tes swab.
"Awalnya mungkin hanya masalah kesehatan, namun berujung pada keuangan karena yang bersangkutan harus tetap bekerja demi merawat anggota keluarga yang sakit," kata Nina seperti yang Suara.com kutip di siaran tertulis Survei Teman Bumil dan Populix, Rabu (25/11/2020).
Semua bisa makin parah ketika muncul ketegangan dengan pasangan karena alasan kelelahan mengurus keluarga yang sakit, jelasnya lagi.
Baca Juga: Apa yang Terjadi Jika Anak Belum Siap Masuk Sekolah? Ini Jawaban Psikolog
Namun, lanjut Nina, untungnya pelan-pelan masyarakat menjadi terbiasa dengan kondisi sulit akibat pandemi, dan mulai menunjukkan tanda-tanda survive atau mampu bertahan.
"Kita bisa melihat komunitas-komunitas yang saling membeli dari usaha temannya. Model kehidupan seperti ini membantu menyelamatkan mereka dari krisis dan ini harus dipertahankan," jelasnya.
Dari survei Teman Bumil dan Populix ini juga terlihat sebagian kecil mulai membuka usaha kecil-kecilan (27%) untuk keluar dari kesulitan keuangan. Meskipun sebagian besar masih mengandalkan tabungan pribadi (45%).
Selain masalah keuangan, masalah terbesar kedua yang dialami para ibu rumah tangga dalam survei adalah kecemasan akan Covid-19 yakni sebesar 37%. Tercatat dua dari 10 ibu rumah tangga mengaku masih cemas dengan berita tentang Covid-19 yang mereka baca dari media sosial atau berita di intenet.
Secara psikologis, menurut Nina, adaptasi terhadap kebiasaan baru ini adalah tanda menuju ke tahapan rekonstruksi emosi. Psikolog Anna Surti Nina menjelaskan, ada fase-fase emosional dalam kebencanaan.
Baca Juga: Psikolog Bilang, Anak Masuk SD Gak Harus Bisa Baca Tulis!
Di awal pandemi, emosi akan mudah terstimulasi sehingga muncul rasa cemas dan panik. Bersamaan dengan emosi yang tersulut, muncul rasa heroik, di mana banyak relawan yang saling memberikan bantuan.
Ketika semua sudah dilakukan dan pandemi tak juga berakhir, emosi kembali jatuh ke titik terdalam. Sebagian orang mengalaminya ketika korban Covid-19 semakin banyak. Namun, seiring waktu, masyarakat mulai bisa menerima.
“Saat ini masyarakat tengah menuju emosi rekonstruksi. Artinya masyarakat sudah terbiasa dengan kebiasaan barunya. Kita menyebutnya masa densitisasi emosi yakni tidak lagi mudah merasa cemas,” tutupnya.