Suara.com - Dewi Fashion Knight (DFK) selalu jadi ajang penutup dari pekan mode Jakarta Fashion Week atau JFW setiap tahunnya. DFK tahun ini akan menggandeng tiga desainer dengan mengusung tema gaya 'To Mother Earth, Kembali ke Ibu, ke akar, dan nurani'.
Editor in Chief Dewi Magazine, Margaretha Untoro, mengatakan bahwa tema itu sengaja diambil sebagai bentuk refleksi diri atau kembali menengok perjalanan selama situasi pandemi Covid-19.
"Tema ini juga banyak refleksi ke dalam diri. Setelah ngobrol sama banyak teman, mereka mempertanyakan apa yang esensial buat hidup. Jadi back to basic. Kita membawa pemikiran ini jadi tema besar Dewi Fashion Knight tahun ini. Pemikiran ini sangat dipertanyakan juga di dunia mode internasional," kata Margaretha dalam konferensi pers virtual, Selasa (17/11/2020).
Adapun tiga desainer yang turut serta dalam pertunjukan DFK tahun ini adalah Toton Januar, Chitra Subyakto, dan Lutfi Labibi. Margeretha mengatakan, ketiganya dipilih karena memiliki keselarasan visi misi dengan tema DFK juga JFW.
Baca Juga: Ini Deretan Desainer yang Usung Kain Tradisional di Panggung ISEF 2020
"Selain karena mereka sudah sangat dikenal dan punya penggemar yang selalu menunggu tiap tahun, ketiganya juga dinilai oleh tim Dewi Fashion Knight dan JFW punya visi misi yang sama dengan tema JFW saat ini. Di mana ketiganya melakukan praktik berkelanjutan yang bisa dipertanggungjawabkan," paparnya.
Toton Januar dengan Busana Religius
Desainer Toton Januar mengaku, dirinya banyak melakukan kotemplasi di rumah dalam menciptakan karya untuk DFK. Lantaran kebijakan karantina mandiri selama pandemi juga, ia menjadi lebih banyak berpikir tentang hubungan manusia dengan spiritualitas.
"Karena biasanya kalau manusia sedang kesusahan, kita mencari sesuatu untuk berpegang. Kebanyakan kita akan berpegang ke hal-hal yang sifatnya religius. Itu jadi salah satu inspirasi bagaimana hal spiritual aku coba terjemahkan ke dalam bentuk karya busana," ujarnya.
Chitra Subyakto, Inpirasi dari Busana Zaman Dulu
Kondisi pandemi telah memaksa semua orang jadi harus berpikir lagi dan lebih bertanggung jawab, demikian dikatakan Chitra. Menurutnya, apapun yang dilakukan manusia dalam berkarya juga akan menentukan nasib masa depan genereasi selanjutnya. Chitra kemudian menyadari bahwa dunia mode menjadi salah satu industri penyumbang limbah yang mencemari lingkungan.
"Jadi dengan kegelisahan ini dan pertanyaan-pertanyaan ini, 'benar nggak ya ngerjainnya', jadi lebih belajar lagi. Akhirnya saya cukup hobi perhatikan orang berpakaian, khususnya zaman dulu. Hampir semua bersih, sangat terbatas dengan tipe pakaian atau tipe warna yang digunakan," tuturnya.
Baca Juga: Jakarta Fashion Week 2020, Akan Ada Show Khusus Untuk Barli Asmara
Atas dasar inspirasi kesederhanaan busana zaman dulu, Chitra menyampaikan bahwa karya itu akan hadir dalam perhelatan DFK tahun ini.
"Intinya semua adalah kesederhanaan dan dengan konsep lebih ramah terhadap ibu bumi," ujarnya.
Lutfi Labibi Padukan Pakaian dengan Puisi
Lutfi Labibi membuat konsep pengembangan karyanya untuk DFK tahun ini. Ia bercerita sebelumnya baru saja menyelesaikan proyek dengan Murabaki yang mengusung judul 'Sandang, Pangan, Papan, dan Puisi'.
Judul itu kemudian ia kembangkan menjadi 'Sandang, Hening, Cipta, dan Puisi' yang akan dipamerkan dalam perhelatan DFK.
"Puisi dalam hal ini saya ambil dari Joko Pinurbo yang bercerita tentang sandang. Jadi pada akhirnya kebutuhan manusia tentang sandang lari ke hal yang lebih sederhana. Makanya di DFK kali ini secara cutting, secara visual, pada akhirnya baju yang kembali lagi ke basic, kembali lagi ke potongan sederhana untuk menutup badan tapi secara estetika tertakar dengan indah," jelasnya.
Menurutnya, kekuatan karyanya terletak pada puisi Joko Pinurbo tentang manusia dan sandang yang terselip pesan untuk sehidupan keseharian. Pria yang akrab disapa Lulu itu menyampaikan, nantinya ia akan menyembunyikan penggalan puisi Joko Pinurbo ke dalam kantung baju dan celana pada setiap karyanya.
"Yang salah satunya berbunyi 'Tubuh saya kenangan yang sedang menyembuhkan lukanya sendiri' ini seperti mengingatkan kita dengan adanya pandemi ini, dengan masalah personal. Mungkin beban batin yang ada, kita akan sembuh dengan pelan-pelan," ujar Lulu.
"Puisi kedua yang saya sembunyikan di kantong celana, berbunyi 'Kebahagiaan saya terbuat dari kesedihan yang sudah merdeka'. Tahun ini mungkin semua orang sedang merasakan bagaimana mengelola emosional. Dan pandemi ini memang jadi bagian dari perjalanan hidup. Kesedihan itu yang bisa kelola menjadi kebahagiaan. Itu pesan dari Joko Pinurbo yang saya angkat ke dalam koleksi kali ini," papar Lulu.