Suara.com - "Salam Lemper!” Setiap mendengar jargon khas itu, rasanya kebanyakan dari masyarakat Indonesia ingin segera menghentikan aktivitasnya sejenak supaya bisa menyimak kata demi kata dari sang pemilik jargon dengan seksama – lalu mentertawakannya. Ya, siapa tak kenal Cak Lontong? Ia pelawak multiformat sekaligus multiplatform. Di panggung stand-up comedy, aksinya begitu dinantikan.
Saat muncul di grup lawak? Dia juga jago. Mau tampil di TV atau di acara off-air pun sama-sama mudah baginya untuk mengocok perut penonton.
Tak ayal, tersiar kabar bahwa Cak Lontong adalah pelawak termahal di Indonesia saat ini. Namun di webinar “Anatomi Lelucon dan Para Lakon” sekaligus peluncuran buku Anatomi Lelucon di Indonesia karya Darminto M. Sudarmo, yang diadakan oleh Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) Sabtu, 24 Oktober 2020, ia menampiknya.
“Itu salah itu. Enggak se-Indonesia, ah. Se-Asia Tenggara!” kelakarnya.
Baca Juga: Biodata dan Profil Denny Cagur Terlengkap
Terlepas dari kebenaran rumor itu sendiri, di baliknya ada satu kebenaran yang hampir tak terbantahkan: Cak Lontong sudah layak untuk dijadikan tolok ukur kesuksesan profesi pelawak di negeri ini.
Yang membuat webinar kesembilan IHIK3 ini makin istimewa, Cak Lontong mau membagikan resep suksesnya menjadi pelawak.
Pertama-tama, ternyata Cak Lontong menjaga kualitas dirinya sebagai entertainer dengan sistem manajemen yang rapi dan mendetail.
Di depan para pemirsa webinar, ia mengisahkan satu kebiasaannya dari dulu, yakni selalu mencatat isi kopernya saat bepergian.
Semua isi dalam koper yang ia bawa itu ia rinci dan catat satu per satu di buku kecil. Tujuannya agar ketika nanti ia akan pulang dan berkemas, semua barang yang dibawanya tidak ada yang tertinggal.
Baca Juga: Ayu Tingting Posting Foto Sule Lagi Pakai "Teluh"
Kebiasaan seperti ini menurutnya adalah cara yang bagus untuk melatih manajemen diri. Pada akhirnya, kedisiplinan ini membentuknya menjadi individu sekaligus entertainer yang berkualitas.
Kedua, komedian bernama asli Lies Hartono ini sangat serius dalam melakukan persiapan sebelum tampil.
Ia meriset betul acara apa yang akan ia hadiri, siapa yang mengundangnya, budaya perusahaannya seperti apa, dan lain-lain.
Cak Lontong mengaku telah melakukan hal ini sejak awal merintis karir menjadi pelawak.
Manajemen yang apik dan kemampuan meriset ini adalah bekal penting pelawak yang akan sangat bermanfaat ketika bertemu dengan suatu kesempatan untuk melejitkan karir. Akan tetapi, bukan berarti setelah si pelawak bertemu dengan momentumnya tugasnya telah usai.
Justru, ia harus terus mempertahankan bekal yang dimilikinya tadi agar tidak ditinggalkan oleh industri.
Nah untuk mengantisipasi itu, Cak Lontong punya resep yang agak nyeleneh: ia selalu memosisikan dirinya sebagai pelawak yang tidak lucu.
“Saya ketika masih susah, sampai sekarang orang mungkin menganggap saya sudah sukses, saya tetap tidak lucu,” aku Cak Lontong.
Menurutnya, ketika seorang pelawak sudah menganggap dirinya sukses karena lucu, maka kerja keras dan etos kerjanya bisa jadi akan berkurang dibandingkan ketika awal merintis karir.
Di saat seorang pelawak sudah mulai puas dengan standar kelucuannya sendiri, maka usahanya untuk terus belajar dan mengembangkan diri menjadi berkurang. Inilah yang ditakutkan oleh Cak Lontong terjadi di dirinya. Maka dari itu, ia memilih untuk menganggap dirinya sendiri bukan pelawak yang lucu.
“Bukan hanya pelawak, semua profesi itu musuhnya rasa puas,” tandasnya
Sebagai pemikir dan pengamat humor, Darminto M. Sudarmo setuju dengan apa yang disampaikan oleh Cak Lontong tersebut.
“Prinsip-prinsip dan ideologi Cak Lontong ini khas dari manusia modern. Tidak semua pelawak mau mengakui dirinya tidak lucu. Saya harap para pelawak saat ini maupun yang ingin menjadi pelawak, mau terus belajar dan mengembangkan diri,” kata co-founder IHIK3, penulis lebih dari 10 buku humor, sekaligus kartunis di berbagai media massa tersebut.
“Ibarat kita kuliah, seharusnya tidak ada kata lulus. Harusnya orang itu tidak diberi gelar, biar mau terus belajar sampai mati. Baru nanti diberi gelar kalau sudah almarhum,” gurau Darminto sebelum mulai membedah bukunya secara singkat.
Tak mau kalah dengan Cak Lontong, Darminto juga membeberkan jurus-jurus dalam membuat lelucon yang dikutip dari bukunya, Anatomi Lelucon di Indonesia.
“Ahli bedah humor” ini menjelaskan, setidaknya ada 25 teknik untuk membuat lelucon, di antaranya parodi, slapstick, satire, sinisme, dan olah logika – seperti yang sering diperagakan pula oleh Cak Lontong.
Di samping itu, Darminto juga mencatatkan bahwa ada satu jurus khas untuk membuat lelucon yang berasal dari Indonesia – terutama dalam wacana humor-humor dari budaya Jawa – yakni parikena.
Parikena sendiri adalah humor yang berisi ledekan, tapi dengan nada atau tone yang sopan. Umumnya, parikena diungkapkan oleh orang-orang yang tertindas ke penindasnya. Contohnya, seorang pelayan yang sudah sangat sebal dengan perlakuan tuannya yang semena-mena tiba-tiba bilang, “Permisi tuan, boleh saya injak leher tuan?”
“Parikena diakui oleh teman saya – kartunis asal Jerman yang sekarang jadi warga negara Australia – sebagai satu-satunya jurus humor yang belum pernah ia dengar. Parikena ini bagaikan sebuah paradoks di kultur Barat,” jelas Darminto.
Acara virtual yang diadakan pada Sabtu, 24 Oktober 2020 pukul 14.00-16.00 WIB ini dihadiri oleh beragam kalangan, dari akademisi, karyawan, ASN, hingga kartunis dan pelaku humor.
Beberapa di antara audiens juga langsung memesan buku Anatomi Lelucon di Indonesia yang kini sedang berada di tahap pre-order sampai 27 November 2020 mendatang.
“Acaranya sangat menarik, kehadiran Cak Lontong sangat menghibur. Saya dapat banyak hal baru dalam humor,” begitu testimonial dari I Wayan Nuriarta (35, dosen ISI Denpasar sekaligus kartunis asal Bali) pascaacara.
Sementara Suryadi (45, karyawan), bilang, “Sudah lama banget ingin tahu Pak Darminto. Baru kali ini bisa lihat langsung dan mendengar pikiran-pikirannya.”