Suara.com - Bubur suro merupakan salah satu hidangan yang identik dengan perayaan Tahun Baru Islam, yang ternyata memiliki sejarah dan filosofi penting bagi masyarakat, khususnya di beberapa kawasan di Pulau Jawa.
Dikutip Indonesia.go.id pada awalnya bubur ini dihadirkan untuk memperingati hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro yang bertepatan dengan 1 Muharam.
Kalender Jawa yang diterbitkan Sultan Agung kala itu mengacu pada kalender Hijriah.
Menurut pemerhati budaya Jawa, Arie Novan, seperti sajian yang dihidangkan saat upacara adat Jawa lainnya, Bubur Suro merupakan lambang rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkah dan rezeki yang diperoleh.
Baca Juga: Kemeriahan Pawai Obor Sambut Tahun Baru Islam 1 Muharram 1442
“Konon ini kan sudah ada sejak Sultan Agung bertahta di Jawa, terlepas dari apapun itu tentu bubur Suro ini merupakan refleksi dari masyarakat Jawa atas berkah dan rezeki yang di berikan Allah SWT kepada mereka,” ujarnya.
Sementara sumber lain menyebutkan terciptanya Bubur Suro dibuat untuk memeringati hari di mana Nabi Nuh selamat setelah 40 hari mengarungi banjir besar yang melanda dunia saat itu, seperti yang tertera pada kitab kuno, di antaranya Nihayatuz Zain (Syekh Nawawi Banten), Nuzhalul Majelis (Syekh Abdul Rahman Al-Usfuri), dan Jam'ul Fawaid (Syekh Daud Fatani),
Nabi Nuh bertanya kepada para sahabat masih adakah makanan yang tersisa di dalam kapal.
Lalu sahabat menjawab "Masih ada ya Nabi", dengan menyebutkan bahan makanan yang tersisa mulai dari kacang poi, kacang adas, ba'ruz, tepung, dan kacang hinthon. Bahan tersebut lalu dimasak bersamaan.
Inilah cikal bakal santapan lezat yang kini dinamakan Bubur Suro. Hidangan tersebut terbuat dari beras yang dimasak dengan aneka bumbu dan rempah tradisional seperti santan, serai, dan daun salam sehingga rasanya lebih gurih dibandingkan bubur biasanya.
Baca Juga: Malam 1 Suro ala Pandemi Corona: Tertutup dan Tak Ada Rebutan Air
Bubur Suro Khas Jawa
Bubur ini disajikan bersama lauk-pauk yang berbeda-beda tergantung daerahnya. Namun sebagian besar memiliki karakteristik yang sama, yakni disajikan bersama kuah santan kuning, tahu, orek tempe atau teri, telur, dan kacang-kacangan.
Menariknya, bukan hanya sebagai pengganjal lapar, bubur suro juga dijadikan sebagai uba rampe atau pernak-pernik sesaji, yang pasti memiliki makna yang mendalam.
Salah satunya adalah tujuh jenis kacang yang wajib ada dan tak boleh terlewat dalam setiap sajiannya, yang melambangkan tujuh hari dalam satu minggu.
Kacang-kacangan itu terdiri dari kacang tanah, kacang hijau, kacang mede, kacang bogor, kacang tholo, kedelai, dan juga kacang merah.
Bubur suro juga disajikan dengan uba rampe lainnya seperti sirih lengkap, kembar mayang, dan sekeranjang buah-buahan.
Kehadiran sirih lengkap sendiri, dikutip Go Travelly untuk menggambarkan penghormatan kepada para keluarga dan juga leluhur yang telah mendahului kita di generasi sebelumnya. Sirih ini diletakkan dalam sebuah wadah bermaterial tembaga.
Sementara untuk kembar mayang, merupakan dua vas bunga yang masing-masing berisi tujuh kuntum mawar merah, tujuh kuntum mawar putih, tujuh ronce (rangkaian) melati, dan tujuh lembar daun pandan.
Uba rampe lain yang dihadirkan dalam bubur suro adalah keranjang buah. Sekeranjang buah-buahan ini diisi oleh tujuh keranjang buah-buahan dengan masing-masing berisi tujuh jenis buah.
Nah, Anda yang ingin mencicipi rasanya, simak resep Bubur Suro di halaman berikutnya.
Bubur Suro Khas Palembang
Meski tak sepopuler dulu, bubur suro masih bisa dijumpai di Pulau Jawa, seperti beberapa wilayah Jawa Timur, salah satunya Madura, dan sebagian wilayah Jawa Tengah seperti Yogyakarta, Solo, hingga Semarang yang disajikan pada malam jelang datangnya 1 Suro.
Selain disantap bersama keluarga dan kerabat terdekat, Bubur Suro merupakan salah satu sajian yang sering dibagikan secara massal di masjid-masjid sebagai wujud sedekah dan berbagi rezeki kepada orang-orang yang membutuhkan.
Di luar Jawa, tradisi menyantap Bubur Suro ternyata ada pula di Palembang, Sumatera Selatan. Hal ini Suara.com ketahui saat mengunjungi Masjid Suro, Palembang, pada 2018.
Bedanya, tradisi menyantap Bubur Suro di Jawa dilakukan menjelang Tahun Baru Islam (1 Muharram), sedangkan Bubur Suro di Palembang disajikan pada 10 Muharram, Ramadan dan Lebaran.
Pengelola Masjid Suro, Sartibi yang Suara.com temui dua tahun lalu itu mengatakan bahwa tradisi membuat Bubur Suro di masjid yang berdiri sejak 1834 ini sudah berlangsung selama hampir satu abad.
"Kita bagikan ke seluruh masyarakat, baik itu mereka yang bermukim di sini atau musafir yang kebetulan berbuka puasa di masjid ini," ujarnya.
Sartibi mengatakan diberi nama Bubur Suro, karena awalnya dibuat oleh salah satu pendiri Masjid Al-Mahmudiyah atau Masjid Suro yang juga termasuk masjid bersejarah Kota Palembang.
Bubur itu, kata Sartibi, dibagikan kepada seluruh warga secara gratis setiap hari selama Ramadan.
"Bubur ini bukan hanya dimasak saja tetapi juga diberikan daging, rempah-rempah dan juga kecap," kata lelaki yang menjadi peracik sekaligus ahli waris pembuat Bubur Suro sejak 1971 itu.
Saat Suara.com mencoba meminta sedikit resep, Sartibi pun membocorkannya.
"Untuk bumbunya, hanya ada bawang putih, bawang merah, ketumbar, merica, garam, bumbu sop dan minyak sayur,” katanya.
Pembuatannya pun cukup mudah, beras yang sudah dicuci dimasak dan diaduk selama kurang lebih tiga jam. Racikan bumbu yang sudah ditumis dimasukkan ke dalamnya, lalu diaduk hingga mengeluarkan aroma khas.
"Pada saat memasak, masukkan juga satu kilogram daging sapi yang sudah dipotong-potong untuk menambah lezat sajian bubur ketika disantap. Secara adat, makanan ini tidak boleh dijual bebas, karena merupakan warisan budaya,” ujarnya.
Menurutnya, bubur suro hanya ada pada momentum tertentu saja seperti saat Ramadan dan lebaran anak yatim yakni tanggal 10 Muharram.
Lantas, bagaimana dengan Bubur suro yang ada di Masyarakat Jawa, samakah resepnya? Simak di halaman berikutnya.
Resep Bubur Suro Khas Jawa
Meski bahan utamanya sama-sama beras, tetapi ada perbedaan bumbu dan bahan makanan pada Bubur Suro di Palembang dan Jawa.
Beberapa perbedaan tersebut di antaranya, Bubur Suro di Palembang menggunakan daging sapi, sedangkan di Jawa menggunakan daging ayam, tahu dan tempe.
Ingin tahu selengkapnya resep Bubur Suro khas masyarakat Jawa? Simak resep yang dikutip dari Cookpad, kiriman Indrajied dari Jember.
Bahan bubur:
300 gr beras
2500 ml air santan
2 batang serai
2 lembar daun salam
2 lembar daun pandan ikat simpul
Secukupnya garam
Bahan kering tempe:
1/2 papan besar tempe, iris
3 buah cabai merah
7 butir bawang merah
7 siung bawang putih
2 ruas lengkuas
1/2 sdm asam, larutkan dengan air
3 lembar daun jeruk
2 lembar daun salam
6 buah cabai merah, iris serong lalu goreng sebentar
3 sdm gula
Bahan kare tahu dan ayam:
250 gr tahu, potong dadu, goreng sebentar
500 gr ayam, potong dadu
16 butir bawang merah
10 siung bawang putih
5 buah kemiri
1 sdt ketumbar
2 ruas kunyit
Sedikit jinten
6 lembar daun jeruk
3 lembar daun salam
3 batang serai
1000 ml santan kental
Pelengkap lain:
Telur dadar
Kacang goreng
Kacang kedelai goreng
Seledri
Cara membuat:
- Untuk membuat bubur, masak semua bahan bubur menjadi satu, aduk terus sampai menjadi bubur
- Untuk membuat kering tempe, haluskan cabai merah bawang putih, bawang merah, lengkuas.
- Tumis bumbu halus dengan daun jeruk, daun salam, masak hingga harum, lalu masukkan air asam, gula dan garam.
- Masak hingga mendidih dan mengental menjadi karamel, matikan api. Masukkan tempe dan cabai merah iris, aduk sampai rata.
- Untuk membuat kare tahu dan ayam, haluskan bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, jahe, kunyit, jinten.
- Tumis bumbu halus dengan serai, daun jeruk, daun salam, gula dan garam sampai harum.
- Masukkan ayam, masak hingga ayam berubah warna lalu masukkan tahu.
- Masak hingga ayam matang lalu masukkan santan, masak hingga santan mendidih. Koreksi rasa. Angkat
- Hidangkan Bubur Suro, tuang ke dalam piring, taburi dengan bahan pelengkap, kemudian siram dengan kuah kare, dan siap dinikmati.