Suara.com - Upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75 di Kota Maumere, Nusa Tenggara Timur, dirayakan dengan cara berbeda.
Untuk pertama kalinya di Indonesia, upacara pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih di sana akan diinisasi kelompok transpuan.
Sebelumnya pengibaran Merah Putih pernah dilakukan transpuan di sejumlah wilayah Indonesia. Namun, baru kali ini penyelenggaranya dilakukan langsung oleh kelompok transpuan.
"Kegiatan ini akan dilaksanakan 17 Agustus 2020, di Lapangan Karya Misi, Kota Maumere, NTT, mulai pukul 09.00 pagi (Waktu Indonesia Tengah)," kata Ketua Fajar Sikka, Hendrika Mayora Victoria melalui siaran tertulis yang diterima Suara.com, Minggu (16/8/2020).
Baca Juga: Bangkitkan Semangat 17-an Lewat Tujuh Film Perjuangan
Kegiatan ini akan melibatkan masyarakat umum, khususnya dari kelompok marjinal. Selain itu, semua yang ikut serta dalam acara upacara juga akan menggunakan pakaian adat serta tetap menerapkan protokol kesehatan.
"Pengibaran Merah Putih ini diikuti juga oleh keluarga dan kelompok minoritas lainya, mama-mama janda dan keluarga dari transpuan. Semua protokoler kesehatan wajib bermasker. Tidak bersalaman dan menjaga jarak fisik selama kegiatan berlangsung," katanya.
Kota Maumere yang ramah transpuan
Kegiatan pengibaran bendera pada peringatan HUT ke-75 RI oleh kelompok transpuan di Maumere, tak lepas dari kota di Timur Indonesia itu yang ramah terhadap perbedaan.
Saat ini, kelompok transpuan di Fajar Sikka dapat menjalani hidup dan kehidupan dengan cara berinklusi dengan masyarakat Kota Maumere, NTT.
Baca Juga: Makan Sepuasnya di Hari Kemerdekaan, Ada Promo Menarik di 5 Restoran AYCE
"Maumere telah menjadi kota yang aman dan ramah terhadap transpuan, di mana transpuan dilibatkan dalam kegiatan masyarakat, termasuk kegiatan pemerintah daerah dalam mengentaskan kemiskinan dan membantu kelompok marjinal untuk mandiri secara ekonomi," kata Mayora.
Namun, tak seluruh wilayah di Indonesia, kelompok transpuan mendapat tempat seperti di Maumere.
Di sejumlah daerah lain, misalnya, masih terdapat aksi diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok marjinal ini. "Kami berharap masyarakat maupun pemerintah tidak melihat transpuan dengan sebelah mata. Bahwa kami, di mana pun, transpuan tetap memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan yang lainnya."
Lalu, apa makna kemerdekaan untuk transpuan?
Kata Mayora, transpuan menjadi salah satu kelompok yang paling rentan dengan diskriminasi, persekusi dan kekerasan meskipun Indonesia telah memasuki usia 75 tahun kemerdekaan. "Sayangnya, kelompok transpuan masih belum sepenuhnya mendapatkan kebebasan dan perlindungan dalam menentukan pilihan gender."
Berdasarkan laporan dari Komnas Perempuan 2020, setidaknya terdapat tiga persoalan besar yang masih dihadapi transpuan yaitu diskriminasi, persekusi dan kekerasan. Dikatakan lembaga ini, agama dan keyakinan telah dijadikan dasar untuk melakukan diskriminasi, yang berujung pada stereotype dan kekerasan terhadap transpuan.
Selain itu, transpuan juga menjadi kelompok yang paling rentan mendapatkan persekusi, baik secara langsung mau pun online, termasuk kekerasan fisik, verbal dan simbolik.
"Fajar Sikka mencatat terjadi kasus kekerasan terhadap transpuan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Dari hasil penelusuran tim kami pada 2018, terdapat kasus pembunuhan terhadap transpuan. Jumlahnya meningkat menjadi enam kasus terlapor di tahun 2019," tambah Mayora.
Misalnya kasus terbaru di tahun 2020 terkait pembakaran waria hidup-hidup yang terjadi di Jakarta pada April tahun ini, serta video prank yang dilakukan dengan tujuan melecehkan transpuan.
"Selain itu, persoalan yang terus kami hadapi adalah persoalan administrasi dan birokrasi untuk kelengkapan dokumen kependudukan. Tak sedikit transpuan yang diusir dari rumah, kehilangan dokumen-dokumen kependudukan, tapi saat mengurus justru dipersulit birokrasi," kata Mayora.
Kesulitan ini kemudian berimbas pada sulitnya mencari pekerjaan hingga mengakses layanan dasar seperti kesehatan maupun pendidikan yang telah disediakan pemerintah.
Peringatan HUT ke-75 RI, menjadi momentum seluruh pemangku kebijakan menjamin kemerdekaan semua orang tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, golongan, gender maupun orientasi seksual. Pemerintah perlu memastikan hal ini dengan kebijakan.
"Dibutuhkan payung hukum yang berkeadilan untuk kelompok minoritas seperti transpuan secara khusus, maupun kelompok LGBTQ secara umum. Sebab, kelompok ini menjadi bagian dari warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan," kata Mayora.
Selain itu, kelompok tranpuan untuk Indonesia juga berharap Presiden Joko Widodo selaku kepala negara untuk memperhatikan persoalan-persoalan yang dihadapi kelompok minoritas. “Ini untuk membuktikan bahwa negara hadir dalam setiap aspek kehidupan masyarakatnya," tutupnya.