Suara.com - Heboh soal pemberitaan video Anji dan Hadi Pranoto, yang disebut sebagai profesor sekaligus ahli mikrobiologi dan berhasil menemukan obat herbal yang bisa mencegah dan menyembuhkan Covid-19.
Hal ini sontak saja menjadi perdebatan publik. Pasalnya, hingga saat ini, seluruh dunia masih berlomba mengembangkan vaksin dan obat Covid-19.
Netizen akhirnya bertanya-tanya, benarkah obat tersebut berkhasiat, dan siapa sesungguhnya Hadi Pranoto ini?
Kemristek sendiri sudah membantah jika Hadi tidak terdaftar sebagai peneliti obat Covid-19. Bahkan menurut informasi yang diterima Praktisi Medis sekaligus Dekan Fakultas Kedokteran Indonesia (FKUI) Prof. Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP, Hadi tidak terdaftar sekagai dokter.
Baca Juga: Deretan Kontroversi Anji yang Buat Warganet Murka
"Sudah dicek ke IDI (Ikatan Dokter Indonesia) wilayah Lampung, orang yang bernama Prof. Hadi Pranoto, yang dalam wawancara dipanggil dokter dan profesor, dan dikasih label pakar mikrobiologi, itu tidak ada, begitu juga dicek di Universitas Lampung tidak ada Prof. Hadi Pranoto," ujar Prof. Ari saat dihubungi Suara.com, Senin (3/8/2020).
Belakangan, Prof. Ari justru mengetahui jika pria bernama Hadi ini adalah putra yang mengundang Rhoma Irama untuk konser di acara khitanan di Bogor, di saat sedang ada wabah pandemi Covid-19.
Fenomena ini tentu saja menjadi polemik, dan membuat publik bertanya apakah semudah itu seseorang mendapat label pakar bahkan hingga profesor, khususnya di bidang medis.
Lalu bagaimana sebenarnya proses seseorang mendapat gelar profesor?
Guru Besar FKUI Prof. Agus Purwadianto mengatakan gelar profesor diartikan sebagai guru tertinggi dalam dunia pendidikan. Menurut dia, kini Kemristek Dikti sudah memiliki Pangkalan Data Pendidikan, baik yang berstatus mahasiswa, dosen, hingga guru besar atau profesor.
Baca Juga: Klaim Temukan Obat Covid-19, Hadi Pranoto Angkat Bicara Soal Gelar Profesor
"Dicek saja, jadi apakah benar atau tidak. Itu dulu. Karena kalau tidak benar, kan repot kita berandai-andai. Jadi selama belum ada bantahannya susah. Kalau nggak ada (di data), kita nggak bisa mengatakan itu profesor," ujar Prof. Agus saat berbincang melalui sambungan telepon.
Punya track record jelas
Jabatan profesor bukanlah ecek-ecek, sehingga tidak bisa tiba-tiba diberikan kepada seseorang. Kecuali, kata Prof. Agus, ia masuk kriteria profesor honoris causa atau gelar yang diberikan sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa, pemikiran, hingga karya inovasi yang memajukan ilmu pengetahuan berkembang pesat.
"Nggak bisa ujug-ujug masuk (sebagai profesor), kecuali dia honoris causa (gelar kehormatan atas jasa-jasa). Jadi dia melalui jalur dari bawah dan track recordnya ketahuan dari sumber," paparnya.
Sedangkan berdasarkan UU No 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, universitas, institut, atau sekolah tinggi dapat diangkat profesor jika bergelar doktor.
Ini karena profesor merupakan pemegang jabatan tertinggi di bidang pendidikan, dan punya kemampuan membimbing calon doktor atau mahasiswa S3.
Itulah mengapa jabatan profesor tidaklah mudah, selain wajib menulis buku hingga karya ilmiah, ia juga harus mampu mencerdaskan masyarakat dengan bidang keilmuwannya.
Tidak sembarang orang bisa mengajukan diri sebagai profesor
Mengingat terdaftar di pangkalan data Kemristek Dikti, maka surat keputusan (SK) pengangkatan ia sebagai profesor juga diberikan langsung atas nama presiden, tapi bisa diwakilkan melalui Kemenristek Dikti atau jika dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) maka ia bergelar profesor riset.
"Kalau di LIPI, di profesor riset ada, jadi setahu saya dua itu, dari litbang terutama itu profesor riset," imbuh Prof. Agus.
Sementara itu, pastinya jabatan profesor tidak bisa mengajukan seorang diri seperti gelar pendidikan S1, S2, hingga S3. Mengingat sifatnya pengajaran, maka ia harus diajukan universitas maupun rekan peneliti atau sesama doktor bidang keilmuwan.
"Profesor di Indonesia bisa dari akademisi dan peneliti untuk akademisi SK dari Mendikbud diusulkan oleh universitas, kalau untuk peneliti di usulkan dari lembaga penelitian atau kementerian," tutup Prof. Ari.