Biasanya mereka berjualan sejak hari Idul Adha sampai tujuh hari setelahnya. Biasanya pula, masyarakat memadati lokasi, bahkan hingga ke tepi pantai, hingga kendaraan tak diperbolehkan melintas.
Namun, situasi tahun ini berbeda.
Zahara, seorang pedagang, menceritakannya.
"Di sini yang diutamakan untuk berjualan adalah warga Desa Lamno. Saya jualan sudah beberapa tahun, sebelumnya menggunakan payung kecil, kalau cuacanya gak mendung bisa dapat Rp1 juta sampai Rp1,2 juta omzet per hari, kalau biasanya jualan di pasar Rp800.000 per hari," jelas Zahara.
Baca Juga: Tradisi Lima Abad di Aceh Setiap Idul Adha: Peumenab dan Seumeuleng
"Kalau bukan Covid-19 sampai ke air-air dan bantaran batu pemecah ombak sudah penuh tenda," katanya.
Tradisi menyuapi dalam menobatkan raja
Tradisi Seumuleung merupakan upacara khusus yang dulu dilakukan Sultan Inayat Syah untuk menobatkan anaknya sebagai Sultan Kerajaan Daya pada tahun 1480 M, yang jatuh pada hari Idul Adha.
Pada tahun-tahun sebelumnya tradisi dilaksanakan di sebuah gedung permanen bak istana raja masa lalu yang dicat warna putih, lengkap dengan lima kubah ukuran berbeda-beda, dengan mengundang para keturunan raja dari seluruh Aceh, juga pemerintah daerah.
GAM, Hasan Tiro dan formalisasi syariat Islam: Kaum muda Aceh menafsir sejarah Ketika umat Hindu Tamil gelar ritual agama di Banda Aceh yang menerapkan syariat Islam Menanti bioskop di Aceh: Film Cut Nyak Dien, konflik bersenjata dan Perda Syariat Islam
Baca Juga: Tradisi Grebeg Besar Lamuk Legok di Gunung Sumbing
Seumuleung bermakna menyuapi, karena dalam puncak upacara raja baru, pewaris estafet kepemimpinan, akan disuapi nasi dan lauknya oleh tetua upacara adat.