Miris, Selama WFH Banyak Korban KDRT Takut Melapor, Apa Sebabnya?

Sabtu, 13 Juni 2020 | 16:15 WIB
Miris, Selama WFH Banyak Korban KDRT Takut Melapor, Apa Sebabnya?
Ilustrasi Miris, Selama WFH KemenPPPA Duga Banyak Korban KDRT Takut Melapor. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyoroti adanya kasus kasus KDRT yang tidak terungkap sejak pandemi Covid-19 dan kegiatan work from home (WFH) selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

"Jika dilihat dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada 29 Februari hingga 10 Juni 2020 terdapat 787 kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan 523 kasus KDRT, ” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Vennetia R. Dannes dalam acara Webinar Peningkatan Kapasitas Manajemen Penanganan Kasus KDRT dalam Situasi Pandemi Covid-19, Sabtu (13/6/2020).

Ilustrasi korban kekerasan seksual, kdrt. (Shutterstock)
Ilustrasi korban kekerasan seksual, kdrt. (Shutterstock)

Meski begitu kasus tersebut cenderung menurun dibanding pada WFH periode 1 Januari hingga 28 Februari 2020, yaitu sebanyak 1.237 kasus KtP dan 769 KDRT.

Namun, data ini justru lebih disorot, karena adanya kemungkinan korban tidak bisa melapor.

Baca Juga: WHO: Jika Lockdown sampai 6 Bulan, Akan Memicu 31 Juta Kasus KDRT

Hal itu diduga karena korban merasa takut, dan terbatas ruang gerak.

Terlebih di daerah dengan sarana komunikasi dan transportasi yang tidak menunjang, dan pusat aduan belum bisa bekerja maksimal.

“Kondisi ini yang berpotensi menyebabkan laju pertambahan kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan KDRT mengalami perlambatan, dari rata-rata 21 kasus KtP per hari sebelum Penetapan Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana (PPSKTDB) menjadi rata-rata 8 kasus per hari sesudah PPSKTDB,” ungkap Vennetia.

Adapun kasus KDRT dari rata-rata 13 kasus per hari sebelum PPSKTDB, turun menjadi rata-rata 5 kasus per hari sesudah PPSKTDB.

Jemput Bola Laporan

Baca Juga: Selama Lockdown, Kasus KDRT di Rusia Naik Dua Kali Lipat

Lebih jauh ia mengatakan meski kasus KDRT cenderung melambat 37 persen dari sebelumnya, dan jumlah kasus berkurang 50 persen, ini bukan temuan yang menggembirakan.

Justru diduga tingkat KDRT masih sama banyaknya dengan tahun-tahun sebelumnya.

Dari sinilah Kemen PPPA akan melakukan upaya jemput bola, alih-alih menunggu laporan.

Caranya dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) di seluruh Indonesia melakukan pendataan di daerahnya.

Sementara itu Advokat Perempuan, Sri Nurherwati menyampaikan bahwa masyarakat seringkali terkecoh dan berpikir bahwa akar masalah dari KDRT ini disebabkan karena minuman keras, pornografi, moral yang buruk, pendidikan, status sosial, dan ekonomi.

“Pemikiran ini justru yang akhirnya menghilangkan akar masalah sesungguhnya, yaitu budaya patriarki atau atau zero tolerance sebagai ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan,” ungkap Sri.

Di sisi lain, Pekerja Sosial, Anna Sakreti Nawangsari juga mengungkapkan hambatan yang cukup rumit dalam proses penanganan kasus KDRT, yaitu terjadinya siklus kekerasan yang tidak berujung.

Siklus ini dimulai dari fase ketika kekerasan terjadi, pasangan meminta maaf, fase bulan madu atau periode tenang, terjadi ketegangan konflik, dan kembali ke fase terjadinya kekerasan.

“Siklus ini sulit dihentikan karena adanya relasi personal kepada pasangan seperti rasa cinta, kasih sayang, dan kasihan. Hal ini yang membuat rantai KDRT sulit diputuskan,” pungkas Anna.

Saat mendampingi dan memberikan konseling bagi korban, petugas pelayanan sosial harus menggali dan memahami siklus ini, serta mengajak korban untuk berpikir lebih rasional dan memetakan kejadian yang dialami.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI