Jemput Bola Laporan
Lebih jauh ia mengatakan meski kasus KDRT cenderung melambat 37 persen dari sebelumnya, dan jumlah kasus berkurang 50 persen, ini bukan temuan yang menggembirakan.
Justru diduga tingkat KDRT masih sama banyaknya dengan tahun-tahun sebelumnya.
Dari sinilah Kemen PPPA akan melakukan upaya jemput bola, alih-alih menunggu laporan.
Baca Juga: WHO: Jika Lockdown sampai 6 Bulan, Akan Memicu 31 Juta Kasus KDRT
Caranya dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) di seluruh Indonesia melakukan pendataan di daerahnya.
Sementara itu Advokat Perempuan, Sri Nurherwati menyampaikan bahwa masyarakat seringkali terkecoh dan berpikir bahwa akar masalah dari KDRT ini disebabkan karena minuman keras, pornografi, moral yang buruk, pendidikan, status sosial, dan ekonomi.
“Pemikiran ini justru yang akhirnya menghilangkan akar masalah sesungguhnya, yaitu budaya patriarki atau atau zero tolerance sebagai ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan,” ungkap Sri.
Di sisi lain, Pekerja Sosial, Anna Sakreti Nawangsari juga mengungkapkan hambatan yang cukup rumit dalam proses penanganan kasus KDRT, yaitu terjadinya siklus kekerasan yang tidak berujung.
Siklus ini dimulai dari fase ketika kekerasan terjadi, pasangan meminta maaf, fase bulan madu atau periode tenang, terjadi ketegangan konflik, dan kembali ke fase terjadinya kekerasan.
Baca Juga: Selama Lockdown, Kasus KDRT di Rusia Naik Dua Kali Lipat
“Siklus ini sulit dihentikan karena adanya relasi personal kepada pasangan seperti rasa cinta, kasih sayang, dan kasihan. Hal ini yang membuat rantai KDRT sulit diputuskan,” pungkas Anna.
Saat mendampingi dan memberikan konseling bagi korban, petugas pelayanan sosial harus menggali dan memahami siklus ini, serta mengajak korban untuk berpikir lebih rasional dan memetakan kejadian yang dialami.