Curahan Hati Perawat Covid-19: Kena Stigma Sampai Tak Bisa Bertemu Anak

Rabu, 10 Juni 2020 | 14:19 WIB
Curahan Hati Perawat Covid-19: Kena Stigma Sampai Tak Bisa Bertemu Anak
Ilustrasi: Curahan Hati Perawat Covid-19: Kena Stigma Sampai Tak Bisa Bertemu Anak [BBC]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tenaga kesehatan medis yang bekerja di garda terdepan melawan Covid-19 harus siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi.

Mereka berjuang untuk menyembuhkan sekaligus memutus mata rantai penyebaran virus corona baru ini di berbagai belahan dunia.

Salah satunya Sudarman, yang didapuk menjadi perawat di ruang rawat intensif (ICU) Covid-19 di RSUD Cengkareng sejak bulan Maret lalu.

Sebelumnya, ia bertugas di ruang operasi. Sudarman mengaku bangga dan tergerak untuk menjadi salah satu perawat yang ditunjuk untuk membantu merawat pasien Covid-19.

Baca Juga: Puluhan Perawat Indonesia di Kuwait Tertular Corona, Ada Dua yang Meninggal

Perawat Sudarman. (Dok: Virtual Press Conference Habitat for Humanity Indonesia)
Perawat Sudarman. (Dok: Virtual Press Conference Habitat for Humanity Indonesia)

Tidak semua perawat bisa terpilih, ada kriteria seperti usia di bawah 40 tahun dan tidak memiliki penyakit penyerta.

Namun tentu perjuangannya akan sangat berat. Di awal-awal waktu merawat, Sudarman sempat merasa khawatir sebab alat pelindung diri (APD) dan masker yang kurang serta terbatas.

"Tapi sejak ada bantuan dari para donatur, APD akhirnya mulai tercukupi kembali dan merasa lebih nyaman dan tenang, tidak khawatir lagi," ungkapnya dalam Virtual Press Conference Habitat for Humanity Indonesia, Rabu (10/6/2020).

Dalam melaksanakan tugasnya, sehari-hari Sudarman harus bolak-balik antara tempat singgah dengan rumah sakit.

Tempat singgah disediakan oleh pihak rumah sakit yang bekerjasama dengan Accor bagi para tenaga kesehatan untuk beristirahat.

Baca Juga: Sakit Covid, Perawat Ini Gendong Bayinya yang Baru Lahir 1 Bulan Kemudian

Tak Bisa Bertemu Anak

Sebelum mendapatkan tempat singgah, Sudarman mengaku tak pernah bisa bertemu dengan anaknya meski selalu pulang ke rumah.

Ia bahkan tak bisa bersosialisasi dengan tetangga.

"Stigma itu memang ada. Saya sadar diri, saya membatasi diri dengan para tetangga atau lingkungan sekitar. Anak saya titipkan ke tetangga biar tidak berkontak dengan saya langsung," katanya.

"Walaupun saya pulang ke rumah, saya nggak ketemu anak saya sama sekali. Sedih sih iya, khawatir juga iya, campur aduk lah. Pulang tidak ketemu anak, lingkungan membatasi dir, tidak berkontak dengan orang lain, dan di rumah aja saat di rumah," lanjutnya lagi.

Sudarman juga menyebut perjuangan menggunakan APD lengkap saaat merawat pasien. Hal ini disebabkan APD membuatnya kepanasan, aktivitasnya terbatas, sesak, dan pernah membuatnya pusing tak keruan.

Ia juga bertugas memandikan atau membersihkan badan pasien Covid-19. Meski ia sempat ingin menyerah, namun akhirnya ia tetap bertahan dan berjuang tetap mengenakan APD selama kurang lebih 4 jam.

Selama dua minggu Sudarman akan bertugas, lalu setelahnya mendapatkan libur selama satu minggu, bergiliran dengan rekannya.

Hingga kini, Sudarman belum bisa pulang ke rumahnya. Mengaku rindu dengan keluarga, sementara ini sudah cukup terobati dengan bertegur sapa melalui panggilan video di kala hari libur.

"Sekarang sudah tidak was-was atau khawatir. Walaupun kangen juga dengan keluarga, kita kan masih bisa komunikasi dengan video call. Pokoknya merasa nyaman dan tenang," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI