Suara.com - Pernikahan yang Sehat, Adem Ayem atau Penuh Konflik?
Banyak yang memperdebatkan soal posisi suatu konflik dalam hubungan pernikahan yang menandakan sehat atau tidaknya hubungan tersebut.
Ada yang menyebut pernikahan sehat itu adem ayem alias tidak penuh konflik, namun juga ada yang menyebut pernikahan sehat seharusnya dibumbui dengan banyak konflik.
Psikolog dari Tiga Generasi, Alfath Hanifah Megawati, MPsi, Psikolog menanggapi hal tersebut.
Baca Juga: Selain Latihan, Alan Budikusuma Ungkap Rahasia Jadi Juara Dunia Bulutangkis
"Secara teoritis, pasangan yang adem ayem atau zero conflict itu perlu dipertanyakan. Jangan-jangan itu pernikahan yang relasinya di permukaan saja," ujarnya dalam Live Instagram, Selasa (2/6/2020).
Hal ini disebabkan semakin seseorang mendalami pasangannya yang berbeda dengannya, pasti banyak hal yang bergesekan alias terjadinya konflik.
Maka dari itu, apabila rumah tangga tidak memiliki konflik sama sekali, Alftah menyebut pasangan tersebut perlu evaluasi diri.
"Jangan-jangan saya nggak cukup mengenal pasangan saya, atau diri saya. Atau jangan-jangan selama ini saya menghindari konflik saja untuk menciptakan pernikahan yang bahagia selalu," lanjutnya.
Menurutnya pernikahan yang bahagia dan sehat adalah pernikahan yang tidak memiliki konflik itu mitos. Justru, semakin banyak konflik yang bisa diselesaikan dengan pasangan bisa menumbuhkan getaran-getaran cinta.
Baca Juga: 5 Kue Lebaran yang Susah Habis, Di Rumah Anda Bagaimana?
Walau memang di sisi lain, ada tipe pasangan yang hobi berargumen, namun tak selalu pasangan tipe ini tidak sehat relasinya.
"Jadi ada tipe pasangan yang selalu berargumen, tapi di luar konflik mereka tetap romantis, menyelipkan humor dan apresiasi ke pasangan.
Argumen itu mereka lakukan sebagai ekspresi kebutuhan diri mereka, jadi mereka saling membutuhkan untuk mengemukakan pendapat mereka.
Alfath mengatakan dalam pernikahan yang salah bukan konfliknya, melainkan bagaimana kita merespon konflik tersebut.
Kebanyakan masalah yang menjadi konflik adalah masalah yang berulang, yang berkaitan dengan perbedaan kebutuhan, hal-hal yang sulit diubah seperti kepribadian pasangan atau pola yang diadopsi dari keluarganya terdahulu.
"Jadi selain bisa untuk menyelesaikan konflik dengan solusi, penting juga untuk menerima pasangan itu sebagai paket lengkap, ada plus dan minusnya pasangan," pungkas Alfath.