Suara.com - Seorang profesor muslimah di Singapura, Jackie Ying, mencuri perhatian dunia setelah ia bersama timnya berhasil menciptakan alat tes cepat atau rapid test untuk Covid-19 hanya dalam waktu lima menit. Penemuan itu disebut-sebut sebagai yang tercepat di dunia.
Ying merupakan pimpinan di Laboratoriun NanoBio di Agensi untuk Sains, Teknologi dan Penelitian (A*Star) Singapura,
Ying dan timnya bekerja selama enam minggu tanpa henti untuk membuat alat tersebut. Penelitian itu dilakukan setelah Direktur Eksekutif A*Star, Frederick Chew, menantang mereka untuk membuat kit rapid test Covid-19.
Karir Cemerlang di Amerika, Tapi Memilih Kembali ke Singapura
Baca Juga: Warganet Iri Olla Ramlan Rapid Test di Rumah: Kita Makan Aja Susah
Nama Ying sebenarnya tak asing di dunia akademis. Perempuan kelahiran Taiwan itu bahkan pernah dinobatkan sebagai salah satu profesor termuda di kampusnya di Amerika Serikat pada usia 35 tahun, demikian dituliskan situs Singapura Women Hall of Fame.
Setelah itu, Jackie Ying melanjutkan karirnya dengan mengajar selama sepuluh tahun di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Namun pada tahun 2003, dia berhenti mengajar dari kampus tersebut.
Lulusan Raffles Girls 'School (RGS) itu memutuskan kembali ke Singapura untuk membantu Institut Bioteknologi dan Nanoteknologi (IBN), salah satu lembaga penelitian yang didirikan oleh pemerintah, untuk memenuhi ambisi Singapura dalam ilmu biomedis sebagai pilar ekonomi baru.
Sejak itu, Ying yang meraih gelar doktor di bidang teknik kimia dari Princeton, ditetapkan sebagai direktur eksekutif IBN. Ia bertanggung jawab atas lebih dari 160 ilmuwan dan siswa ketika melakukan penelitian nanoteknologi dalam sains dan lingkungan.
Selama masa jabatannya di IBN, perempuan kelahiran 1966 itu telah mengeluarkan lebih dari 505 hak paten dan aplikasi paten.
Baca Juga: Tak Bergejala, 8 Pegawai BNPB Positif Rapid Test Virus Corona
Dia sendiri memiliki lebih dari 140 paten yang diberikan dan sekitar 320 makalah yang diterbitkan, juga telah melakukan 370 kuliah umum di konferensi internasional.
Menjalankan masa kecil di Taiwan, Ying datang ke Singapura pertama kali pada 1973 ketika ayahnya diangkat menjadi dosen senior dalam bidang sastra Cina di Universitas Nanyang. Keluarga itu pindah ke New York ketika dia berusia 15 tahun.
Saat itu, sebenarnya Ying enggan pindah ke AS karena merasa telah memiliki hubungan yang kuat dengan Singapura.
Berikutnya, Kenal Islam Sejak Masih Sekolah...
Kenal Islam Sejak Masih Sekolah
Islam dikenal Ying melalui teman baiknya sejak ia masih bersekolah di RGS. Namum, baru pada usia 30 tahun, Ying mulai membaca soal agama Islam. Menurutnya, Islam merupakan agama yang sederhana dan masuk akal.
Mengutip dari Moeslim Obsesstion, Ying mengaku tak mendapat reaksi negatif ketika memutuskan menjadi mualaf. Rekan kerjanya juga tidak menghiraukan perubahan itu.
Ying kemudian dikenal sebagai sosok yang meyakini ada sesuatu yang Maha Besar di balik sistem kehidupan.
Ying aktif dalam komunitas agama yang dipilihnya. Dia adalah salah satu mentor di bawah Project Protégé Mendaki, membimbing dan menginspirasi kaum muda muslim yang tertarik untuk memajukan diri mereka dalam sains. Ia mengaku melakukan itu karena terinspirasi oleh guru-gurunya di RGS.
Sosok Perempuan Berprestasi
Ying kerap mengisi berbagai program inspirasi. Ia berbagi pengalaman tentang perubahan dan prestasinya, termasuk bagaimana ia memilih Islam, termasuk keputusannya untuk mantap berhijab sepulangnya melakukan umrah.
Sebagai akademisi, ibu satu anak itu menerima banyak penghargaan dan penghargaan. Seperti, menjadi anggota termuda dari Akademi Ilmu Pengetahuan Jerman Leopoldina; masuk dalam salah satu dari delapan wanita dari daftar 100 Insinyur Era Modern, sebuah daftar kehormatan yang disusun oleh American Institute of Chemical Engineers pada 2008.
Ying juga merupakan pemenang perdana 500 ribu dolar AS pada Mustafa Prize Award Top Scientific Achievement Award tahun 2015 untuk inovasinya dalam teknologi bionanoteknologi. Hadiah ini diberikan oleh pemerintah Iran kepada para peneliti muslim terkemuka.
Berikutnya, Menciptakan Rapid Test Untuk Wabah Covid-19...
Menciptakan Rapid Test Untuk Wabah Covid-19
Ying mengklaim, rapid test ciptaannya memiliki sensitifitas tinggi dan hasil yang akurat. Sampel pemeriksaan akan dimasukkan ke dalam perangkat portabel yang memberikan hasil dalam waktu sekitar 5 hingga 10 menit menggunakan metode amplifikasi cepat yang mereka beri nama 'Cepat'.
"Kami telah melakukan beberapa validasi klinis awal di Rumah Sakit Wanita dan Anak-Anak KK menggunakan sampel pasien nyata, dan menemukan tes itu sangat sensitif dan akurat," kata Ying, melansir dari Straits Times.
Tantangan dalam membuat rapid tes itu, kata Ying, bagaimana mengembangkan diagnostik yang cepat dan akurat tanpa menggunakan mesin yang mahal.
Penelitian itu, ia kerjakan bersama timnya setelah kepala eksekutif A*Star Frederick Chew memberi mereka tantangan untuk membuat tes cepat untuk Covid-19.
Sebelumnya, A*Star telah mengembangkan test kit PCR untuk digunakan di Singapura dan luar negeri, dan menyerahkan mempercayai perusahaan lokal MiRXES untuk dapat memproduksi secara massal.
Singapura sebenarnya memiliki jenis tes lain yang dilakukan untuk menemukan Covid-19 pada pasien, yaitu tes serologis. Tes ini mencari imunoglobulin, antibodi yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus, dalam darah pasien.
Namun, tes semacam itu membutuhkan waktu beberapa jam untuk menunjukkan hasil. Karena itu rapid tes disebut sebagai jalan keluar masalah.
"Tetapi sangat penting untuk mencatat sensitivitas hasil tes," kata Prof Ying.
Menurut Ying, orang yang terinfeksi Covid-19 akan melepaskan sejumlah besar virus saat gejala awal (viral load) dan lebih lambat di kemudian hari.
Oleh karena itu, akan lebih baik jika tes cepat dapat dilakukan pada berbagai tahap penyakit, terlepas dari apakah ia memiliki viral load yang tinggi atau rendah, kata Prof Ying.