Suara.com - Kerajaan Tarumanegara atau Tarumanagara adalah salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah
Kerajaan bercorak agama Hindu Wisnu ini bertempat di wilayah sekitar muara Sungai Citarum (sesuai dengan kata ‘Tarum’ dalam Sungai Citarum dan Kerajaan Tarumanegara.
Kurun waktu berlangsungnya kerajaan ini adalah antara tahun 358 M hingga 669 M.
Beberapa tokoh ternama dalam kerajaan ini adalah Jayasingawarman (yang dianggap sebagai raja pertama), Dharmayawarman, Purnawarman, Linggawarman, dan lainnya.
Masa kejayaan dari kerajaan ini terjadi pada masa kepemimpinan Purnawarman.
Baca Juga: Belajar dari Irrfan Khan, 5 Makanan Ini Bantu Cegah Infeksi Usus Besar!
Dikutip dari zenius.net Raja Purnawarman dikabarkan pernah memiliki kekayaan berupa 1.000 ekor sapi untuk sesembahan kepada Dewa Siwa, yang mana hal tersebut dapat menjadi rujukan untuk menggambarkan kondisi kemakmuran Kerajaan Tarumanegara.
Kerajaan Tarumanegara mengalami kemunduran, karena serangan Kerajaan Sriwijaya beserta perpecahan di kalangan istana.
Kerajaan Tarumanegara terpecah menjadi dua yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh akibat perselisihan internal antara Tarusbawa (menantu raja Linggawarman) dengan Galuh (pemimpin sebuah daerah kerajaan Tarumanegara bernama Kawali).
Namun pecahan kerajaan Tarumanegara itu bergabung kembali menjadi kerajaan yang bernama Kerajaan Padjadjaran.
Beberapa peninggalan yang sering menjadi rujukan utama untuk mengkaji kerajaan ini adalah Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Tugu, Prasasti Cidanghiyang, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Jambu, dan Prasasti Pasir Awi.
Baca Juga: Segarkan Waktu Berbuka Puasa, Yuk Coba Resep Minuman Blue Ocean Drink
Terdapat juga sumber-sumber berita dari Cina semasa rezim Dinasti Sui, serta naskah tulisan seorang tokoh bernama Wangsakerta.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya 7 prasasti dan beberapa catatan dari luar negeri yang menceritakan Kerajaan Tarumanegara dikutip cagarbudaya.kemdikbud.go.id.
1. Prasasti Ciaruteun
Prasasti ini diketahui keberadaannya berdasarkan laporan dari pimpinan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang menemukannya di aliran Sungai Ciaruteun, Bogor pada tahun 1863.
Pada 1893, letak prasasti berubah karena diterjang banjir. Hal itu membuat prasasti terguling sehingga tulisan yang awalnya diatas menjadi terbalik posisinya dan menghadap ke bawah.
Letak prasasti diperbaiki seperti semula pada 1903. Pada Juli 1981 batu prasasti kemudian dipindahkan ke atas, ke tempatnya saat ini di Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor.
Usaha pemindahan ini dilakukan oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Prasasti Ciaruteun disebutkan dan dibahas oleh N.W. Hoepermans (1864), J.F.G. Brumund (1868), A.B. Cohen Stuart (1875), P.J. Veth (1878, 1896), H. Kern (1882, 1917), R.D.M. Verbeek (1891), C.M. Pleyte (1905/1906), N.J. Krom (1915, 1931), J. Ph. Vogel (1925), dan R. M. Ng. Poerbatjaraka (1952).
Berdasarkan isi prasasti, dapat diperoleh informasi mengenai adanya sebuah kerajaan bernama Tarumanagara atau Tarumanegara dengan rajanya Purnnawarman beserta dewa yang dipuja, yakni Dewa Wisnu.
Prasasti Ciaruteun yang juga dikenal dengan nama Prasasti Ciampea ini terdapat pula gambar laba–laba dan telapak kaki Raja Purnawarma.
Bentuk tulisan pada prasasti menunjukkan bahwa Prasasti Ciaruteun dibuat pada abad V.
Prasasti ini hingga kini belum terbaca secara tuntas karena aksara yang digunakan merupakan aksara “kursif” (cursive writing) yang tidak memperlihatkan kesamaan bentuk dengan aksara Pallawa standar yang biasa digunakan pada Prasasti Ciaruteun-A.
Beberapa sarjana yang telah membaca dan mentransliterasikannya adalah J.L.A. Brandes dalam tulisannya berjudul Çri Tji aroe/eun waça (“The blesh lord of the Tjiaroe/eun”); (Pleyte, 1905-1906: 174 dst.: Vogel, 1925:24); dan G.P. Rouffaer dalam karyanya yang berjudul Purnnavarmma-padam (“the foot-print of”).
Prasasti Ciaruteun dalam kondisi relatif terawat dengan baik dan ditempatkan pada sebuah lahan kosong dengan bangunan cungkup.
Selanjutnya Prasasti Jambu ...
2. Prasasti Jambu
Prasasti Jambu dikenal pula dengan sebutan Prasasti Pasir Koleangkak.
Pasalnya, prasasti ini ditemukan di bukit Koleangkak, perkebunan jambu. Letaknya yakni 30 km sebelah barat dari kota Bogor.
Prasasti ini ditemukan oleh Jonathan Rigg pada 1854 dan terletak di atas Gunung Batutulis (Pasir Koleangkak).
Lokasi ditemukannya prasasti ini masuk ke dalam wilayah perkebunan karet “Sadeng Djamboe” yang terletak di Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
Huruf dipahatkan pada sebuah permukaan batu besar yang bentuknya menyerupai segitiga dengan ukuran sisi-sisinya yaitu sekitar 2-3 meter.
Prasasti Jambu peninggalan Kerajaan Tarumanegara atau Tarumanagara ditulis dalam dua baris tulisan Pallawa dan berbahasa Sanskerta.
Kedua baris prasasti yang memiliki ukuran panjang sekitar 1,5 cm merupakan sebuah sloka dengan metrum sragdhara dan tiap baris berisi dua pada.
Huruf-hurufnya masih cukup jelas dan berukuran 2-7 cm. Pada batu prasasti ini terdapat pula pahatan sepasang telapak kaki.
Berdasarkan bentuk huruf Pallawa yang digunakan, prasasti ini diduga berasal dari abad ke-5.
Prasasti ini berisi kebesaran Raja Purnawarman dan gambar telapak kakinya.
Selanjutnya Prasasti kebon Kopi ...
3. Prasasti Kebon Kopi
Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara sejak awal abad XIX ketika diadakan penebangan hutan untuk pembukaan perkebunan kopi.
Pemberitaan mengenai prasasti pertama kali dikemukakan oleh N.W. Hoepermans dalam laporannya yang ditulis pada tahun 1864. Kemudian disusul oleh beberapa uraian lain dari J.F.G Brumund (1868), A.B. Cohen Stuart (1875), P.J Veth (1878, 1896), H. Kern (1884, 1885, 1910), R.D.M. Verbeek (1891), J.Ph. Vogel (1925), dan lainnya.
Prasasti Kebon Kopi dituliskan pada sebongkah batu andesit pada salah satu bidang permukaannya yang rata, beraksara Pallawa, berbahasa Sansekerta, berbentuk sloka dengan metrum anustubh, dan diapit oleh sepasang gambar telapak kaki gajah.
Huruf yang dipergunakan pada prasasti ini lebih kecil jika dibandingkan dengan yang ada pada Prasasti Ciaruteun. Pemahatannya pun tidak terlalu dalam.
Prasasti Kebon Kopi peninggalan Kerajaan Tarumanegara atau Tarumanagara ini cukup istimewa, sebab terdapat sepasang telapak kaki gajah. Tapak kaki ini digambarkan sebagai tapak kaki Raja Purnawarman.
Dalam agama hindu, gajah digambarkan sebagai hewan sakral dan dekat dengan Dewa Wisnu. Konon diibaratkan sebagai Maharaja Purnawarman.
Selanjutnya Prasasti Muara Cianten ...
4. Prasasti Muara Cianten
Prasasti ini pertama kali dilaporkan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864 dan kemudian disusul oleh beberapa laporan dari J.F.G Brumund (1868), P.J Veth (1878), R.D.M. Verbeek (1889, 1891), C.M. Pleyte (1905/1906), G.P Rouffaer (1909), dan N.J. Krom (1915).
Isi dari Prasasti Muara Cianten hingga kini belum diketahui karena tulisan yang terdapat di prasasti ini belum dapat dibaca.
Prasasti Muara Cianten dituliskan pada batu andesit berbentuk hampir lonjong (oval) dengan ukuran 2,7 x 1,4 x 1,4 meter.
Prasasti ini bertuliskan huruf ikal atau huruf sangkha, seperti yang digunakan pada Prasasti Ciaruteun-B dan Prasasti Pasir Awi.
Tulisan pada prasasti ini masih dapat belum dibaca. Prasasti Muara Cianten masih insitu dan terletak tepi Sungai Cianten, di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Saat ini Prasasti Muara Cianten, salah satu peninggalan Kerajaan Tarumanegara atau Tarumanagara dalam kondisi kurang baik dan terawat. Selain itu kondisi pahatan juga sudah aus.
Selanjutnya Prasasti Pasir Awi ...
5. Prasasti Pasir Awi
Prasasti Pasir Awi adalah salah satu dari tujuh prasasti peninggalan kerajaan tertua di barat Pulau Jawa. Prasasti ini telah ditetapkan menjadi Benda Cagar Budaya peringkat nasional.
Berbeda dengan keenam prasasti lainnya yang hampir seluruhnya berada di dekat aliran sungai, lokasi prasasti ini justru berada di perbukitan. Tepatnya di sebelah selatan bukit Pasir Awi (± 559 mdpl) di kawasan hutan di perbukitan Cipamingkis Kabupaten Bogor.
Untuk bisa sampai ke lokasi prasasti, kita dapat melalui Jalan Sukaraja Dayeuh. Kemudian masuk ke jalan berbatuan dengan medan yang cukup menyulitkan kendaraan yang melaluinya.
Selesai jalan berbatuan dilalui, selanjutnya dihadapkan dengan undakan anak tangga yang cukup curam. Setelah menaiki tangga itu, akhirnya sampailah di lokasi insitu tempat Prasasti Pasir Awi.
Sejarah prasasti ini tidaklah banyak diungkap. Hanya saja keberadaannya sudah diketahui sejak 1864. Ditemukan kali pertama oleh seorang arkeolog asal Belanda, bernama N.W. Hoepermans. S.
Pada prasasti ini terdapat pahatan sepasang tapak kaki yang menghadap ke arah utara dan timur.
Pahatan serupa juga ditemukan di Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Pasir Jambu yang terletak di Kecamatan Cibungbulan dan Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
Pahatan tapak kaki tersebut dianggap sebagai tapak kaki milik Sri Purnawarman raja dari Kerajaan Taruma atau Tarumanegara. Kerajaan ini pernah berjaya pada abad ke-4 hingga abad ke-7 Masehi.
Selanjutnya Prasasti Cidanghiang ...
6. Prasasti Cidanghiang
Prasasti Cidanghiang yang merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Tarumanegara atau Tarumanagara hingga saat ini masih insitu yang berlokasi di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Saat ini pengelolaan prasasti dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang.
Keberadaan Prasasti Cidanghiang pertama kali berasal dari laporan kepala Dinas Purbakala Toebagoes Roesjan pada 1947.
Pada 1954, ahli epigrafi dari Dinas Purbakala datang ke tempat prasasti ini ditemukan yaitu di tepi Sungai Cidanghiang, Lebak, Munjul, Pandeglang.
Prasasti Cidanghiang dipahatkan pada batu andesit berukuran 3 x 2 x 2 meter, tulisan sebanyak 2 baris dalam aksara Pallawa, berbahasa Sansekerta, dan dengan metrum anustubh.
Beberapa bentuk huruf pada prasasti ini mirip dengan huruf yang dipahatkan pada Prasasti Tugu.
Saat ini huruf Prasasti Cidanghiang yang berukuran relatif besar masih cukup jelas terbaca walaupun beberapa sudah menampakkan keausannya dan hampir seluruh permukaannya tertutup lumut.
Bagian atas sebelah kanan batu prasasti ini sudah pecah dan ada beberapa huruf yang hilang.
Selanjutnya Prasasti Tugu ...
7. Prasasti Tugu
Prasasti Tugu merupakan prasasti terpanjang yang dikeluarkan oleh Purnnawarman, berisi keterangan mengenai penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.
Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnnawarman dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
Pada 4 Maret 1879, Prasasti ini merupakan peninggalan Kerajaan Tarumanegara atau Tarumanagara yang terpanjang.
Prasasti Tugu ditemukan di Kampung Batutumbuh, Desa Tugu.
Kini lokasi penemuan masuk ke dalam wilayah Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.
Ketika ditemukan prasasti ini terkubur di bawah tanah. Hanya bagian puncak prasasti yang terlihat di permukaan tanah setinggi sekitar 10 cm.
Itulah 7 prasasti yang menjadi bukti keberadaan Kerajaan Tarumanegara.