Suara.com - Kartini Masa Kini, Jalan Panjang Monika Anggreini Jadi Kapten Pilot Perempuan
Di dunia, jumlah perempuan yang berprofesi sebagai pilot masih terbilang sedikit. Banyak yang menyebut pilot lebih cocok ditekuni oleh laki-laki.
Namun tidak bagi Monika Anggreini yang telah jatuh bangun memperjuangan passion-nya sebagai seorang pilot. Kini ia didapuk sebagai Kapten di maskapai penerbangan AirAsia Indonesia selama kurang lebih 15 tahun.
Perjalanannya bisa mencapai titik ini tentu tidaklah mudah. Bercerita pada Suara.com, perempuan kelahiran 17 November 1975 ini mengatakan bahwa awal mulanya cita-citanya bukan sebagai pilot.
Baca Juga: Peneliti Kembali Temukan Gejala Covid-19, Memar dan Lesi di Jari Kaki
Monik, panggilannya, dari dulu ingin menjadi seorang arsitek. Akan tetapi sebagai anak dari orangtua yang bekerja di TNI Angkatan Udara, cerita soal menjadi pilot sudah menjadi makanan sehari-hari.Motivasinya menjadi seorang pilot dimulai dari Almarhum Bapak.
Saat Monik lulus SMA, ayahnya sering bercerita tentang menjadi pilot. Sang ayah tak mempermasalahkan bila Monik ingin kuliah menjadi arsitek, asal ia juga tetap mengikuti tes menjadi pilot.
"Nggak apa-apa. Kuliah jadi arsitek tetap jalan, tes sebagai pilot juga tetap jalan," katanya saat berbincang dengan Suara.com, Senin (20/4/2020).
Sayangnya, ia tidak diterima di jurusan Teknik Arsitektur. Akhirnya sembari menanti tes pilot yang masih cukup lama, ia mencoba mendaftar kuliah lagi. Kali ini ia berhasil diterima di jurusan Teknik Sipil Universitas Trisakti.
Tak lama berkuliah, ia lulus tes sekolah pilot di Juanda Flying School, Surabaya. Akhinya ia meninggalkan bangku kuliahnya untuk menempuh studi di sekolah penerbangan tahun 1994.
Baca Juga: Gegara Corona, Gadis Ini Jadi Tahu Diselingkuhi Pacarnya Lebih dari 1 Tahun
Lantas, bagaimana kisah selanjutnya? Baca di halaman berikutnya ...
Sulit Mendapat Kerja
November 1996, Monik lulus dari sekolah penerbangan. Ia mencoba peruntungan dengan mendaftar sebagai pilot di beberapa maskapai penerbangan.
Sayangnya krisis tengah melanda Indonesia. Beberapa perusahaan penerbangan tengah mengalami penurunan. Akhirnya di tahun 1997, Monik melanjutkan studinya di Avindo Angkasa Pilot School mengambil kelas lanjutan multi engine.
Sembari bersekolah, Monik juga bekerja di salah satu perusahaan travel yang bekerjasama dengan salah satu maskapai penerbangan di Indonesia.
"Saya sambil sekolah lagi di Juanda. Jadi sambil bekerja sambil sekolah juga. Apply-apply lagi jadi pilot, cuma belum ada yang manggil dan nggak ada pengumuman lulus atau nggak, jadi kayak digantung," tuturnya.
Masih belum beruntung, Monik akhirnya kembali kuliah mengambil jurusan ekonomi di tahun 1998. Lulus di tahun 2002, masih belum ada maskapai penerbangan yang mau menerimanya sebagai seorang pilot.
Monik akhirnya banting setir dengan mendaftarkan diri ke perusahaan berbeda. Akhirnya ia diterima bekerja sebagai finance officer di sebuah perusahaan otomotif.
Gayung bersambut, tak sampai setahun bekerja, Monik diterima di maskapai penerbangan Top Air. Namun lagi-lagi perjalanannya tak mulus, untuk bisa mengoperasikan pesawat Boeing 737 seri 200 ia harus merogoh kocek sendiri. Beruntung, ia selalu mendapat dukungan dari sang ibu.
Perusahaan tersebut ternyata tak berjalan hingga akhirnya Monik memutuskan keluar kerja. Ia pun diterima di maskapai Star Air hingga disekolahkan ke Swedia.
"Baru akhirnya setelah 8 tahun lulus dari sekolah pilot di Juanda, diterima di Airlines, terbang di tahun 2004," ujarnya.
Hanya sepuluh bulan bergabung di maskapai tersebut, badai kembali menerpa Monik. Perusahaan maskapai tersebut tutup, membuatnya harus kembali mencari pekerjaan.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, di bulan Juli 2005, Monik dipertemukan dengan AirAsia Indonesia dan diterima menjadi pilot di maskapai penerbangan tersebut, hingga kini selama 15 tahun.
Bagaimana kisahnya selama menjadi pilot? Baca selengkapnya di halaman selanjutnya.
Tak Kalah dengan Laki-laki
Menjadi satu dari sedikit pilot perempuan, Monik mengaku tantangan dan kendalanya masih besar. Salah satunya bagaimana perempuan masih harus menunjukkan bahwa kemampuan pilot perempuan sama dengan pilot laki-laki.
"Karena persyarataan dan prosedur yang dilakukan sama, bisa dilakukan oleh perempuan juga. (Perempuan) harus menunjukkan prestasi yang lebih, semangatnya juga harus lebih, harus menunjukkan yang terbaik," kata Monik.
Akan tetapi, semua perjuangan dan kendala tersebut tertutup dengan kecintaan Monik bekerja sebagai pilot. Apalagi dengan dukungan keluarga yang tak ada habisnya.
Di tengah kesibukannya sebagai pilot, ia juga menulis buku dengan harapan dapat menularkan semangat dan motivasinya ke orang banyak. Bukunya berjudul Iron Bird: Monika telah diluncurkan pada 2016 lalu.
Saat bekerja ia juga sering menyempatkan bertemu dengan keluarga. "Kadang kalau lagi disempatkan di suatu kota, ibu sama adik saya ikut. Jadi setelah terbang bisa makan bareng, kumpul bareng. Alhamdulillah disempat-sempatkan," imbuhnya.
Menurutnya, tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh perempuan. Walau memang di masa kini untuk bisa bertahan di ranah pekerjaan yang mayoritas laki-laki, perempuan harus menunjukkan prestasi yang lebih.
Monik mengingatkan kepada para Kartini Indonesia untuk tetap menjadi diri sendiri, dan selalu melakukan yang terbaik.
"Pejuang Kartini harus bisa menikmati passion mereka, seperti saya menikmati passion saya sebagai seorang pilot," tandasnya.
Itulah kisah inspiratif Kartini masa kini, pilot perempuan Monika Anggreini yang diharapkan bisa menjadi pecut semangat bagi kaum perempuan.